Analisis Ekonomi Bisnis Ekonomi Gaya Hidup Pilihan redaksi Properti
Home » Tantangan dan Adaptasi Industri Akomodasi Indonesia: Antara Tekanan Ekonomi dan Transformasi Preferensi Wisatawan

Tantangan dan Adaptasi Industri Akomodasi Indonesia: Antara Tekanan Ekonomi dan Transformasi Preferensi Wisatawan

Foto: Villa Domanik Labuan Bajo

Jakarta, Mei 2025 — Industri akomodasi Indonesia tengah menghadapi tekanan ganda di tahun 2025: melemahnya daya beli masyarakat dan pergeseran preferensi konsumen yang mengubah peta persaingan antara hotel berbintang, vila eksklusif, dan penginapan alternatif. Kondisi ini menuntut pelaku industri untuk lebih adaptif, inovatif, dan efisien dalam menyusun strategi bisnis ke depan.

Daya Beli Menurun, Permintaan Akomodasi Tertekan

Sinyal pelemahan ekonomi telah muncul sejak awal tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor barang konsumsi turun 14,24% secara tahunan (YoY) pada Januari–Februari 2025, menandakan penurunan konsumsi rumah tangga. Di saat yang sama, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) versi Bank Indonesia menyentuh 126,4 di Februari, turun dari 127,2 pada bulan sebelumnya—angka ini masih positif, namun tren pelemahannya konsisten.

Penurunan daya beli ini memengaruhi langsung sektor perhotelan. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat tingkat hunian hotel nasional selama masa libur Lebaran 2025 hanya mencapai rata-rata 55–60%, turun sekitar 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Di luar periode puncak, okupansi anjlok drastis bahkan ke kisaran 20–30% di beberapa daerah.

“Kondisi ini berbeda dengan periode pasca-pandemi 2022–2023, saat masyarakat euforia berlibur. Kini masyarakat lebih rasional dan selektif karena tekanan finansial makin nyata,” ujar Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum PHRI.

Perubahan Preferensi: Villa dan Homestay Jadi Pilihan Populer

Meski okupansi hotel turun, tidak berarti masyarakat berhenti bepergian. Data dari riset internal Traveloka dan Tiket.com menunjukkan peningkatan pemesanan vila dan homestay hingga 18% pada kuartal I/2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penginapan alternatif dengan konsep privat, fasilitas lengkap, dan harga kompetitif menjadi daya tarik utama, terutama untuk keluarga besar dan generasi milenial.

Pemerintah Siapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Percepat Program Pembangunan

“Vila di kawasan destinasi seperti Bali, Yogyakarta, dan Puncak menunjukkan performa yang lebih stabil dibandingkan hotel konvensional. Banyak wisatawan lebih nyaman menyewa satu properti penuh ketimbang menyewa beberapa kamar hotel,” kata Mira Tjandrawinata, analis industri pariwisata dari Cakap Ekonomi.

Selain alasan harga, fleksibilitas dan privasi menjadi alasan utama. Platform seperti Airbnb, RedDoorz, dan Agoda Homes mencatat lonjakan aktivitas pemesanan properti jangka pendek yang berorientasi pada pengalaman personal dan autentik.

Tren Ramah Lingkungan: Kesediaan Bayar Lebih Tinggi

Di tengah tekanan daya beli, konsumen kelas menengah-atas justru menunjukkan kecenderungan membayar lebih untuk akomodasi yang berkelanjutan. Survei Booking.com 2025 mencatat 95% wisatawan Indonesia bersedia membayar lebih untuk penginapan ramah lingkungan, dengan 36% siap membayar hingga 10% lebih mahal dan 18% bahkan siap menambah biaya hingga 50%.

Hal ini membuka ceruk pasar baru bagi vila-vila eco-friendly di kawasan seperti Ubud, Labuan Bajo, dan Lombok yang mengusung konsep green luxury—menggabungkan pengalaman eksklusif dengan prinsip keberlanjutan.

Strategi Bertahan dan Bertransformasi

Menghadapi tekanan ini, pelaku usaha akomodasi mengambil sejumlah langkah:

Komitmen Pembahasan RUU Perampasan Aset: Sebuah Janji yang Berulang

  • Efisiensi operasional: Banyak hotel mengurangi jumlah staf, menutup sementara beberapa fasilitas (seperti restoran atau ballroom), hingga melakukan merger layanan antar unit hotel dalam satu grup.
  • Diversifikasi produk: Beberapa grup hotel mulai menawarkan unit-unit “apartment-style” dengan dapur mini dan ruang tamu untuk menyaingi vila dan homestay.
  • Digitalisasi layanan: Otomatisasi check-in, penggunaan AI untuk customer service, dan integrasi dengan platform travel online menjadi prioritas investasi teknologi tahun ini.

Proyeksi Hingga Akhir 2025: Stabil Tapi Tidak Ekspansif

Berdasarkan proyeksi dari Bank Indonesia dan Kementerian Pariwisata, pertumbuhan sektor pariwisata dan akomodasi hingga akhir 2025 diperkirakan tetap positif namun moderat. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor akomodasi diperkirakan berada di kisaran 3,8–4,2%, lebih rendah dari pertumbuhan 2023 yang mencapai 5,7%.

Sementara itu, PHRI memproyeksikan rata-rata okupansi nasional hotel hingga akhir tahun akan berkisar 52–55%, dengan okupansi tertinggi hanya tercapai pada periode libur panjang Desember 2025.

Sektor vila dan penginapan non-hotel diprediksi akan tumbuh lebih cepat, dengan potensi pertumbuhan 8–10% YoY, terutama di kawasan destinasi wisata dengan infrastruktur digital yang baik.

Penutup: Peluang Di Tengah Ancaman

Meski menghadapi tekanan, industri akomodasi Indonesia memiliki peluang besar untuk menyesuaikan diri dengan arah baru perilaku konsumen. Transformasi dari “tempat menginap” menjadi “pengalaman menginap” akan menjadi kunci utama mempertahankan relevansi.

Fleksibilitas, inovasi layanan, dan keberpihakan pada keberlanjutan bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Dalam lanskap pasca-COVID yang belum sepenuhnya stabil secara ekonomi, hanya pelaku yang adaptif yang akan tetap berdiri kuat di akhir 2025.

RUU Perampasan Aset Dikebut, Dana Pemerintah Dipindah ke Bank BUMN, dan Korban Banjir Bali 14 Orang

Redaksi Cakrawala Media menerima opini dan analisis sektor pariwisata dan properti dari akademisi serta pelaku industri. Kirimkan naskah Anda ke nomor Whatsapp +62895370142417