BANYUMAS, CAKRAWALA – Bara api konflik di Desa Karangrau, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, tak kunjung padam. Puluhan tahun setelah transaksi tukar guling tanah bengkok desa, warga masih menuntut keadilan atas dugaan ketidakberesan yang melibatkan PT. Linggarjati Permai dan proyek perumahan elit Sapphire Mansion.
Kisah ini bukan sekadar sengketa lahan, melainkan cerminan kompleksitas pengelolaan aset desa, janji-janji yang menguap, dan perjuangan panjang masyarakat mencari keadilan.
Akar Masalah Sejak 1997: Tanah Desa untuk Perumahan Elit
Permasalahan ini berawal pada tahun 1997, ketika tanah bengkok Desa Karangrau seluas 94.000 meter persegi ditukar guling dengan tanah seluas 103.000 meter persegi milik PT. Linggarjati Permai. Tanah pengganti tersebut berlokasi di dua kecamatan berbeda, yaitu Kecamatan Kembaran dan Kecamatan Sumbang.
Menurut warga Desa Karangrau, Tony Hendriyanto (47), pada awalnya PT. Linggarjati Permai memberikan kompensasi berupa dana CSR sebesar Rp10.000 per warga. Namun, inti masalahnya terletak pada nilai tanah pengganti yang jauh berbeda.
“Tanah desa kami per ubin (-/+14m²) seharga 20 juta. Namun di Kecamatan Kembaran hanya 7 juta dan Kecamatan Sumbang 9 juta,” ungkap Tony, merasa masyarakat ditipu oleh perbedaan harga yang signifikan. “Kalau mau adil ya berikan sesuai nominalnya,” lanjutnya.
Data terkini menunjukkan disparitas harga yang mencolok. Estimasi harga tanah per meter persegi di Karangrau (Kecamatan Sokaraja) berkisar antara Rp1,07 juta hingga Rp6 juta, sementara di Kecamatan Kembaran antara Rp588 ribu hingga Rp4,08 juta, dan di Kecamatan Sumbang antara Rp178 ribu hingga Rp2,19 juta.
Meskipun luas tanah pengganti lebih besar, nilai intrinsik dan potensi pengembangan tanah asli Karangrau yang strategis dinilai jauh melampaui tanah pengganti yang diberikan.
Krisis moneter tahun 1997 yang melanda Indonesia mungkin mempengaruhi penilaian saat itu, namun warga merasa kerugian ekonomi jangka panjang sangat besar.
PT. Linggarjati Permai sendiri bukanlah pemain baru di Banyumas. Perusahaan konstruksi dan kontraktor umum ini memiliki rekam jejak kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Banyumas, termasuk pembangunan Pasar Terminal Ajibarang sejak 1995 dan renovasi Terminal Wangon pada 1997. Pengalaman panjang ini seharusnya menyiratkan pemahaman mereka terhadap regulasi dan praktik pengelolaan aset publik.
Perubahan Peruntukan dan Masalah Perizinan: Jerat Hukum yang Mengancam
Kontroversi tidak berhenti pada nilai tanah. Perumahan Sapphire Mansion, yang dibangun di atas tanah bengkok yang ditukar guling, awalnya diizinkan sebagai “perumahan sederhana.” Namun, kenyataannya, pengembang membangun “perumahan elit komersil”.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Banyumas bahkan telah memasang papan peringatan pada 25 Maret 2023 di area pembangunan Sapphire Mansion karena pengembang belum melengkapi persyaratan pembangunan dan melanggar ketentuan perizinan.
Kepala Satpol PP, Setia Rahendra, secara eksplisit menyatakan bahwa izin awal adalah untuk perumahan sederhana, namun yang dibangun adalah perumahan elit. Ironisnya, Perumahan Sapphire Mansion tercatat selesai dibangun pada 31 Desember 2019, jauh sebelum peringatan Satpol PP dikeluarkan, mengindikasikan lemahnya pengawasan.
Dampak dari perubahan peruntukan dan masalah perizinan ini sangat dirasakan oleh konsumen. Salah satu korbannya adalah Hendy Saputra.
“Awalnya, perumahan itu siteplannya adalah perumahan sederhana. Namun berubah menjadi perumahan elit. Saya yang tidak tahu membeli unit rumah disitu akhirnya tidak mendapatkan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Tuntutan saya kepada PT. Linggarjati adalah kembalikan uang saya, saya kembalikan unit yang saya beli,” ungkap Hendy.
Ia bahkan telah melaporkan pihak pengembang dan Kepala Dinas terkait ke aparat penegak hukum, dan kasusnya masih berjalan.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Banyumas, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas perizinan investasi dan pembangunan, seharusnya memastikan kepatuhan. Namun, kasus penjualan rumah tanpa IMB/PBG yang lolos pembiayaan bank menunjukkan adanya kegagalan serius dalam penegakan peraturan dan perlindungan konsumen.
Janji Fasilitas Umum yang Menggantung: Lapangan dan Makam Tak Kunjung Ada
Keresahan warga Desa Karangrau tidak hanya pada aspek legalitas dan nilai tanah, tetapi juga pada janji-janji fasilitas umum (fasum) yang tak kunjung terpenuhi. Warga menuntut pihak pengembang untuk memenuhi janji pembangunan lapangan sepak bola dan makam.
Terdapat perbedaan pandangan yang signifikan terkait lapangan sepak bola. Warga dan Pemerintah Desa bersikukuh meminta lapangan sepak bola outdoor, sementara pengembang mengklaim sudah ada kesepakatan lama untuk membangun lapangan indoor.
Tony Hendriyanto menegaskan keinginan warga: “Tentang lapangan sepak bola, kami ingin lokasinya ada di tengah Desa. Bukan diujung desa yang jauh tempatnya. Masa gantinya tanah yang murah sedangkan yang ditukar guling tanah yang premium?”.
Ia juga mengeluhkan kualitas tanah pengganti: “Perlu diketahui tanah yang berada diluar kecamatan itu tanah yang entah berantah yang tidak mempunyai nilai, tidak subur.”
Selain itu, Kepala Desa Karangrau, Sugiyono menyampaikan bahwa pihak pengembang menyatakan siap memenuhi kewajiban dan menyediakan tanah makam dan lapangan sepak bola namun masih menunggu lokasi yang akan ditentukan oleh pihak desa.
Respons Pihak Terkait: Saling Lempar Tanggung Jawab?
Sugiyono, menyampaikan bahwa permasalahan dengan PT. Linggarjati Permai bisa dianggap selesai karena tukar guling sudah terjadi. Mengenai perbedaan harga, Sugiyono menyebutkan bahwa selain tanah ganti, tuntutan masyarakat berupa tanah makam dan lapangan sepak bola akan dipenuhi oleh PT. Linggarjati Permai, meskipun tidak diketahui kapan realisasinya.
“Minggu kemarin (1/6) sudah diadakan Musdes dan pihak PT. Linggarjati Permai akan memenuhi tuntutan warga,” ucap Sugiyono.
Ia juga menambahkan, sudah ada tim survey yang nantinya akan membantu mencarikan tanah.
“Kami sudah membentuk tim yang akan mengurus pengadaan tanah makam dan lapangan sepak bola sesuai tuntutan warga.” kata Sugiyono.
Namun, Tony Hendriyanto memiliki pandangan berbeda. Ia menuding Kades Sugiyono “mengada-ada,” mengingat pada tahun 2017 Kades Sugiyono sudah menandatangani perubahan kesepakatan.
“Artinya kades tahu tentang appraisal tanah yang diluar kecamatan yaitu di Sumbang dan Kembaran. Jangan mengada-ada,” kata Tony. Ia bahkan meragukan tim yang dibentuk Kades, menyebutnya tidak lebih dari makelar tanah.
“Masa iya nunggu atau mencari tanah yang murah?” ungkapnya.
Jerat Regulasi dan Preseden Hukum
Pengelolaan aset desa, termasuk tukar guling, diatur ketat oleh berbagai peraturan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2016 (yang diperbarui dengan Permendagri Nomor 3 Tahun 2024) menegaskan bahwa tukar menukar aset desa harus “senilai atau menguntungkan” desa, dengan prinsip “kepastian nilai” yang menekankan ketepatan jumlah dan nilai barang. Tanah pengganti diutamakan berlokasi di desa setempat atau di kecamatan yang sama.
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 31 Tahun 2016 dan Peraturan Bupati (Perbup) Banyumas Nomor 86 Tahun 2016 juga mengatur pengelolaan aset desa di tingkat lokal.
Kasus tukar menukar tanah kas desa di Sampang yang dibatalkan karena “cacat administratif dan cacat prosedur” menjadi preseden penting. Jika ditemukan pelanggaran serupa dalam tukar guling Karangrau pada tahun 1997, ada potensi pembatalan atau peninjauan kembali perjanjian.
Mencari Titik Terang di Tengah Kebuntuan
Protes warga telah dilakukan melalui berbagai forum, termasuk audiensi di kantor camat Sokaraja dan mediasi di Hotel Magnum, dengan pendampingan dari Yayasan Tribhata.
Namun, mediasi yang berlangsung masih menyoroti kesulitan mencapai resolusi yang memuaskan, terutama karena perbedaan interpretasi janji dan nilai kompensasi.
Penyelesaian kasus ini akan sangat bergantung pada kemauan politik dan ketegasan Pemerintah Kabupaten Banyumas untuk meninjau kembali seluruh aspek transaksi 1997, termasuk penilaian ulang nilai tanah dan penegakan janji fasilitas umum.
Peran Tim Kajian Tukar Menukar Tanah Milik Desa menjadi krusial dalam memberikan rekomendasi yang adil dan berdasarkan hukum.
Hingga berita ini dirilis, redaksi kesulitan menghubungi pihak PT. Linggarjati Permai karena terbatasnya informasi kontak publik perusahaan ini.
Cakrawala akan terus memantau perkembangan kasus ini, dengan tetap menjaga keberimbangan informasi, dan menunggu pihak PT. Linggarjati Permai maupun pihak lain yang terkait untuk dapat menyampaikan versinya agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat.
Kasus Karangrau adalah pelajaran berharga: aset desa, sebagai kekayaan asli masyarakat, harus dikelola dengan sangat hati-hati, transparan, dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa, bukan hanya untuk kepentingan sesaat atau pihak tertentu.