Jakarta, (Cakrawala) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keputusan ini menuai kontroversi di kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi hak asasi manusia yang menganggap revisi ini sebagai ancaman terhadap supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia.
Perubahan dalam Revisi UU TNI
Revisi ini memperluas peran TNI dalam jabatan sipil, memungkinkan prajurit aktif untuk menduduki posisi strategis di 14 kementerian dan lembaga negara tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri.
Selain itu, perubahan ini juga menambahkan dua tugas baru dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), serta menaikkan batas usia pensiun bagi perwira tinggi. Salah satu aspek yang paling kontroversial adalah kemungkinan anggota TNI menduduki posisi di lembaga peradilan seperti Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Kritik terhadap Proses Pembahasan
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani, mengkritik cara pembahasan revisi UU TNI yang dianggap tidak transparan. “Pembahasan revisi ini dilakukan secara tertutup di hotel mewah, tanpa partisipasi publik yang memadai. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan keterbukaan dan akuntabilitas,” ujar Mujani (Fajar.co.id, 16/03/2025).
Ancaman terhadap Supremasi Sipil dan Independensi Peradilan
Organisasi hak asasi manusia seperti Imparsial dan Setara Institute menilai revisi ini sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. “Saat ini, lebih dari 2.500 prajurit aktif sudah menduduki jabatan sipil. Dengan adanya revisi ini, angka tersebut dapat bertambah, mengikis prinsip meritokrasi dan mengancam supremasi sipil,” ujar Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri (The Australian, 20/03/2025).
Salah satu isu terbesar adalah kemungkinan perwira TNI menduduki jabatan di Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menegaskan bahwa kehadiran militer dalam lembaga peradilan akan mengancam independensi hukum. “Militer memiliki struktur komando yang berbeda dengan sistem hukum sipil. Jika perwira aktif masuk ke lembaga peradilan, ada risiko ketidaknetralan dalam penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan institusi militer,” ujar Isnur (Tempo, 19/03/2025).
Pandangan Ahli tentang Keterlibatan TNI dalam Lembaga Peradilan
Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, menyatakan bahwa perpanjangan usia pensiun TNI dapat memicu perwira non-job yang berpotensi merambah ke jabatan sipil, termasuk lembaga peradilan. “Ketika sudah terlalu banyak perwira non-job yang tidak mendapatkan posisi, saya khawatir mereka akhirnya merambah ke jabatan sipil, seperti yang terjadi pada Polri saat ini,” kata Hussein.
Sementara itu, Laksamana Pertama TNI (Purn) Faisal Manaf mendukung perpanjangan usia pensiun anggota TNI, dengan alasan perwira TNI masih cukup bugar dan produktif mengemban tugas hingga usia 60 tahun. Namun, ia tidak secara spesifik menyinggung mengenai keterlibatan TNI dalam lembaga peradilan.
Kekhawatiran Internasional
Kritik terhadap revisi UU TNI juga datang dari luar negeri. Laporan Reuters menyebutkan bahwa perubahan ini meningkatkan risiko intervensi militer dalam politik dan hukum, yang bisa berdampak pada kebebasan sipil dan independensi lembaga negara (Reuters, 20/03/2025).
Pandangan Alternatif: Bisakah Militer Berperan di Lembaga Sipil dan Peradilan?
Meski banyak kritik, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa keterlibatan perwira TNI dalam jabatan sipil dapat membawa dampak positif jika diatur dengan baik. Beberapa pihak berpendapat bahwa perwira TNI memiliki disiplin tinggi, pengalaman dalam manajemen krisis, serta loyalitas kepada negara yang dapat meningkatkan efisiensi birokrasi.
Dr. Philips Vermonte, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, berpendapat bahwa dalam beberapa situasi tertentu, keterlibatan TNI bisa bermanfaat. “Di negara-negara lain, militer berperan dalam berbagai aspek pemerintahan, terutama dalam manajemen krisis dan keamanan nasional. Namun, harus ada batasan yang jelas agar tidak mengganggu sistem hukum dan supremasi sipil,” ujar Vermonte (The Jakarta Post, 20/03/2025).
Namun, agar tidak mengancam supremasi sipil, perlu ada mekanisme pengawasan ketat serta regulasi yang memastikan bahwa penempatan prajurit aktif di jabatan sipil tidak bersifat permanen dan tetap tunduk pada aturan demokrasi.
Revisi UU TNI yang baru disahkan telah memicu perdebatan sengit mengenai batasan peran militer dalam pemerintahan sipil dan lembaga peradilan. Dengan kritik yang kuat dari akademisi, organisasi hak asasi manusia, dan kelompok pro-demokrasi, banyak pihak mempertanyakan apakah keputusan ini akan memperkuat negara atau justru menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia di masa depan. Sementara itu, pandangan alternatif menekankan pentingnya regulasi ketat jika keterlibatan militer dalam jabatan sipil tetap dilaksanakan.