Analisis Politik Pilihan redaksi Politik
Home » Revisi UU TNI dan Isu Pendanaan Asing: Antara Penguatan Pertahanan atau Ancaman bagi Demokrasi?

Revisi UU TNI dan Isu Pendanaan Asing: Antara Penguatan Pertahanan atau Ancaman bagi Demokrasi?

Jakarta, (Cakrawala) – Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan dugaan pendanaan asing terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta media di Indonesia terus menjadi perdebatan panas. Di satu sisi, TNI menegaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk memperkuat pertahanan negara. Namun, di sisi lain, berbagai pihak menilai bahwa hal ini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi dan kebebasan pers.

Revisi UU TNI: Penguatan Militer atau Kembalinya Dwifungsi?
Salah satu poin kontroversial dalam revisi UU TNI adalah diperbolehkannya prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara. Pemerintah dan TNI berargumen bahwa kebijakan ini akan meningkatkan efektivitas koordinasi dalam bidang keamanan dan pertahanan nasional.

Namun, sejumlah pakar politik dan aktivis demokrasi menilai revisi ini bisa membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi ABRI, yang pada era Orde Baru memberi militer pengaruh besar dalam politik.

“Ini berisiko mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer. Kita sudah memiliki pengalaman di masa lalu ketika militer begitu dominan dalam pemerintahan,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Militer, Ahmad Fauzan.

Menurutnya, jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang ketat, revisi ini bisa mengancam prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia.

Pemerintah Siapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Percepat Program Pembangunan

Sementara itu, juru bicara TNI menegaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak berdasar. “Perubahan ini bukan untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI, melainkan untuk memastikan peran TNI tetap relevan dalam menjaga stabilitas nasional di era modern,” ujarnya.

Pendanaan Asing untuk LSM dan Media: Ancaman atau Bentuk Dukungan Demokrasi?
Selain revisi UU TNI, isu lain yang ramai dibahas adalah dugaan keterlibatan George Soros dan Open Society Foundations (OSF) dalam pendanaan sejumlah media dan LSM di Indonesia.

Kelompok yang mendukung TNI menilai bahwa dana asing ini berpotensi digunakan untuk memengaruhi opini publik dan melemahkan kedaulatan nasional. Mereka berargumen bahwa media yang menerima dana dari luar negeri dapat memiliki agenda tersembunyi yang merugikan kepentingan Indonesia.

Namun, di sisi lain, para aktivis kebebasan pers menegaskan bahwa pendanaan dari lembaga luar bukanlah hal yang otomatis mencerminkan campur tangan asing. Mereka menekankan bahwa banyak media dan LSM yang tetap independen meskipun mendapat pendanaan dari luar negeri.

“Selama media tetap bekerja secara profesional dan berpegang pada kode etik jurnalistik, sumber pendanaan tidak seharusnya menjadi alat untuk mendiskreditkan mereka,” kata Niken Saraswati, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Komitmen Pembahasan RUU Perampasan Aset: Sebuah Janji yang Berulang

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa menstigmatisasi media yang menerima pendanaan asing bisa berbahaya bagi kebebasan pers. “Jangan sampai isu ini dijadikan dalih untuk membatasi jurnalisme yang kritis terhadap pemerintah,” tambahnya.

Perlunya Transparansi dan Diskusi Terbuka
Perdebatan ini menunjukkan bahwa ada dua sisi yang harus diperhatikan dengan saksama. Revisi UU TNI memang memiliki potensi untuk memperkuat stabilitas nasional, tetapi tanpa pengawasan yang baik, bisa menjadi ancaman bagi supremasi sipil. Demikian pula dengan isu pendanaan asing, yang bisa menjadi instrumen pengaruh, tetapi juga bisa menjadi bentuk dukungan bagi demokrasi dan kebebasan pers.

Di tengah ketegangan ini, para pengamat menekankan pentingnya transparansi dan diskusi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. “Yang terpenting adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan kepentingan nasional,” pungkas Fauzan.

Seiring dengan perkembangan situasi, masyarakat diharapkan tetap kritis dan selektif dalam menerima informasi, serta tidak mudah terpengaruh oleh propaganda dari pihak mana pun.

RUU Perampasan Aset Dikebut, Dana Pemerintah Dipindah ke Bank BUMN, dan Korban Banjir Bali 14 Orang