Bisnis Pilihan redaksi Politik
Home » Raja Ampat di Persimpangan Jalan: Surga Bahari Terancam Tambang Nikel, Pemerintah Terbelah

Raja Ampat di Persimpangan Jalan: Surga Bahari Terancam Tambang Nikel, Pemerintah Terbelah

Papua Barat Daya, Cakrawala – Kepulauan Raja Ampat, permata keanekaragaman hayati laut dunia dan situs Geopark UNESCO, kini berada di persimpangan jalan. Ancaman serius datang dari aktivitas pertambangan nikel yang masif, memicu konflik kepentingan antara ambisi ekonomi nasional dan desakan perlindungan lingkungan yang tak ternilai. Polemik ini semakin memanas dengan adanya perbedaan pandangan di antara kementerian terkait, sementara masyarakat adat dan aktivis lingkungan terus menyuarakan kekhawatiran mereka.

Raja Ampat dikenal sebagai jantung “Coral Triangle,” rumah bagi 75% spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan. Statusnya sebagai UNESCO Global Geopark dan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) seharusnya menjamin perlindungan ketat, di mana segala bentuk penambangan mineral dilarang tegas. Namun, ironisnya, beberapa perusahaan nikel telah mengantongi izin dan beroperasi di wilayah sensitif ini.

Empat Perusahaan di Garis Depan Kontroversi

Empat perusahaan utama yang menjadi sorotan adalah PT Gag Nikel (anak usaha BUMN PT Antam Tbk), PT Anugerah Surya Pratama (PMA asal Tiongkok), PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. PT Gag Nikel, yang memiliki konsesi seluas 13.136 hektar di Pulau Gag, mengklaim beroperasi di luar kawasan konservasi dan telah memiliki AMDAL sejak izin produksinya terbit pada 2017. Namun, klaim ini berbanding terbalik dengan temuan di lapangan.

Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan

Proyek Kejar Tayang Kopdes Merah Putih dan PP Era Jokowi Dibatalkan Mahkamah Agung

Laporan dari Greenpeace Indonesia dan hasil pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menunjukkan kerusakan lingkungan yang parah. Pembukaan lahan dan pengerukan tanah menyebabkan limpasan lumpur dan sedimen mengalir ke laut, menimbun terumbu karang dan menghalangi fotosintesis, yang berujung pada kematian karang. Di Pulau Gag, banyak terumbu karang dilaporkan telah mati atau terganggu.

Selain itu, deforestasi terjadi di pulau-pulau kecil seperti Kawe, Manuran, dan Batang Pele, yang terancam hilang secara perlahan akibat intensitas pertambangan. KLH/BPLH menegaskan bahwa penambangan di pulau kecil adalah “bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi” dan berpotensi menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible).

Ancaman terhadap Kehidupan dan Pariwisata Lokal

Dampak sosial-ekonomi juga tak kalah serius. Nelayan setempat harus melaut lebih jauh dengan hasil tangkapan yang menurun drastis, meningkatkan biaya operasional dan mengurangi pendapatan. Masyarakat adat seperti suku Betew dan Maya kehilangan ruang hidup dan sumber daya tradisional mereka, serta merasa hukum adat “sasi” mereka dilanggar. Protes keras masyarakat di Sorong dengan teriakan “Bahlil Penipu” dan “Papua bukan tanah kosong!” mencerminkan kemarahan atas perusakan alam yang terjadi atas nama pembangunan.

Sektor pariwisata Raja Ampat, yang menjadi tulang punggung ekonomi, juga terancam. Kerusakan terumbu karang dan pencemaran air dapat menurunkan minat wisatawan, mengurangi pendapatan, dan bahkan berujung pada pencabutan status geopark dari dunia internasional.

KPK Tetapkan Lima Tersangka Korupsi Proyek Jalan di Sumatera Utara, Termasuk Kadis PUPR

Pemerintah dalam Sorotan: Beda Suara dan Penegakan Hukum

KLH/BPLH telah mengambil langkah tegas dengan menyegel keempat lokasi tambang nikel di Raja Ampat setelah menemukan berbagai pelanggaran serius pada 26-31 Mei 2025. KLH berencana mencabut izin lingkungan PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama jika terbukti melanggar hukum. PT Mulia Raymond Perkasa dihentikan seluruh kegiatan eksplorasinya karena tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH.

Sementara itu, PT Kawei Sejahtera Mining akan dikenakan sanksi administratif dan berpotensi gugatan perdata karena menambang di luar izin dan menyebabkan sedimentasi parah.

Namun, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat mengumumkan penghentian sementara operasi PT Gag Nikel pada 5 Juni 2025, sambil menunggu verifikasi lapangan. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, bahkan mengklaim tidak menemukan indikasi masalah signifikan atau sedimentasi di area pesisir berdasarkan pantauan awal dari udara. Klaim ini sangat kontras dengan temuan KLH dan laporan Greenpeace, menyoroti tantangan koordinasi antarlembaga dan tumpang tindih regulasi.

Suara Masyarakat dan Harapan ke Depan

Anna Wintour: Pergeseran Kekuatan di Takhta Vogue, Dari Editor Ikonik Menuju Arsitek Global

Organisasi seperti Greenpeace Indonesia dengan kampanye “Save Raja Ampat” dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua terus mendesak pemerintah untuk mencabut izin secara permanen dan menindak tegas pelanggar. Mereka menekankan bahwa hilirisasi nikel, yang diklaim sebagai “energi hijau,” justru menyebabkan “bencana lokal” di Raja Ampat.

Kasus Raja Ampat adalah cerminan dilema besar antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Masa depan surga bahari ini akan sangat bergantung pada konsistensi penegakan hukum, harmonisasi regulasi, dan komitmen nyata pemerintah untuk memprioritaskan keberlanjutan di atas keuntungan jangka pendek.