humaniora Pilihan redaksi
Home » Publik Diimbau Cek Fakta Mandiri Antisipasi Hoax

Publik Diimbau Cek Fakta Mandiri Antisipasi Hoax

Presidium Mafindo Jawa Tengah, Ir Farid Zamroni Mardizansyah (tengah), wartawan senior Ardiansyah (kanan). Foto: Cakrawala/Maharani

Bandungan, Semarang – Cakrawala: Presidium Mafindo Jawa Tengah, Ir Farid Zamroni Mardizansyah menegaskan bahwa gelombang disinformasi yang digerakkan kecerdasan buatan (AI) kini menguji ketahanan publik dalam memilah informasi.

“Konten palsu yang semakin halus membuat proses verifikasi tak lagi bisa mengandalkan intuisi semata,” katanya.

Dia mengingatkan bahwa kemampuan cek fakta mandiri harus ditingkatkan, termasuk memanfaatkan ragam perangkat dan metode verifikasi digital.

Ia juga menjelaskan, hoaks saat ini tak hanya hadir dalam bentuk tulisan provokatif, tetapi sudah menjalar ke foto, video, hingga rekaman audio yang direkayasa dengan teknologi AI.

“Dulu kita cek gambar lewat metadata: tanggal, lokasi, perangkat. Sekarang hoaks AI banyak yang sangat rapi, sehingga butuh ketelitian lebih,” ujarnya dalam Workshop dan Temu Rekan Media bersama Gubernur Jateng di Bandungan, Senin (8/12/2025).

Literasi Media Makin Krusial Untuk Tangkal Informasi Palsu

Farid mencontohkan maraknya akun palsu yang meniru tokoh publik, termasuk kloning akun Tengku Zulkarnain hingga SBY. Minimnya literasi digital membuat publik mudah terjebak oleh akun tiruan yang sengaja dibuat untuk mengarahkan opini.

Untuk membantu masyarakat, Mafindo menyiapkan chatbot WhatsApp khusus verifikasi. Pengguna dapat mengirim teks, gambar, maupun video untuk dicek kebenarannya.

Namun, ia menegaskan bahwa kecepatan verifikasi bergantung pada ketersediaan data.

“Kalau isu lama, misalnya polemik ijazah Presiden Jokowi, rujukannya sudah banyak. Tapi kalau banjir di Sukabumi baru terjadi hari ini, informasinya jelas belum lengkap,” jelasnya.

Mafindo juga terus mempromosikan metode SIFT (Stop, Investigate, Find, Trace): berhenti sebelum membagikan, menelusuri sumber, mencari pembanding, serta melacak konteks asli agar masyarakat terbiasa berpikir kritis.

Sejarah Mencatat Perangnya, “Jalan Sunyi” Mencatat Air Matanya: Novel Terbaru Ungkap Sisi Rapuh Sang Panglima Besar

Dalam pemaparannya, Farid menunjukkan berbagai contoh hoaks yang pernah viral—mulai dari foto banjir palsu di Paris, video AI tokoh publik untuk iklan judi online, hingga pidato pejabat yang dipotong agar membentuk narasi negatif.

“Hoaks bisa menggeser persepsi publik, bahkan mempengaruhi dinamika politik dan hukum. Karena itu kita wajib skeptis sebelum percaya,” tegasnya.

Ia menambahkan, keterampilan mendeteksi manipulasi berbasis AI di kalangan pemeriksa fakta juga belum merata. Dari 19 fact-checker Mafindo, hanya empat yang telah menguasai teknik lanjutan. Mayoritas lainnya masih mengandalkan verifikasi manual dengan sumber media tepercaya.

Karena itu, Farid mengajak media massa, humas pemerintah, dan publik memperkuat literasi digital serta pola pikir kritis. “AI bisa jadi tantangan sekaligus alat bantu. Tapi semuanya kembali pada manusia. Tanpa sikap kritis, kita mudah terseret arus informasi palsu,” ujarnya.

Adaptif, Kolaborasi

Gubernur Jateng Bantu Korban Bencana Sumatera Senilai Rp1,3 Miliar

Di sisi lain, jurnalis senior Ardiansyah Harjunantio menilai masa depan media digital Indonesia bertumpu pada kemampuan media kecil dalam menajamkan segmentasi dan menjalin kolaborasi lintas platform.

Menurutnya, jurnalisme adalah “urat nadi demokrasi”. Jika media melemah, konsekuensinya akan merembet pada mutu demokrasi. Karena itu, ia mendorong media lokal untuk tidak terikat pada pola lama berbasis portal berita.

“Satu berita di website kadang hanya dibaca 10–20 orang, kecuali diambil media lain. Di situlah pentingnya kolaborasi,” jelas wartawan Zonasi.id dan Sindikat Media itu.

Ardiansyah menilai banyak media kecil kesulitan berkembang karena harus menanggung biaya server, kebutuhan produksi, dan tuntutan konten harian.

Ia menawarkan strategi homeless media, yakni cara publikasi yang tak bergantung pada satu kanal seperti website, melainkan memaksimalkan Instagram, TikTok, YouTube, hingga jejaring kolaboratif. “Akun IG yang saya kelola baru enam bulan, follower-nya sudah 11 ribu. Semua organik,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa ekosistem media kini tak lagi soal kompetisi tak sehat. Justru, konten sering viral karena diunggah ulang media lain. Praktik berbagi ini memperkuat distribusi dan visibilitas.

Peluang terbesar bagi media kecil, katanya, justru ada pada segmentasi superlokal. Akun-akun seperti Info Demak atau Info Banguntayu berkembang pesat karena menyediakan informasi hiper-lokal yang sangat dibutuhkan warga setempat. Dengan segmentasi jelas, komunitas bisa terbentuk dan data keterlibatan (engagement) lebih mudah diukur, sehingga brand dapat menargetkan iklan secara presisi.

Ardiansyah juga menyinggung jaringan PRNM yang menaungi lebih dari 400 media. Bergabung di dalamnya bukan untuk meleburkan identitas, tetapi meningkatkan otoritas domain dan performa distribusi di Google.

Perubahan algoritma di berbagai platform membuat pemain lama pun harus beradaptasi. Karena itu, media kecil mesti lebih kreatif dan menurunkan ego. Budaya duplikasi dan remix konten, menurutnya, bukan hal negatif selama tetap menjaga akurasi.

Ia menekankan bahwa produksi media digital tidak harus mahal. Unit kecil berisi tiga orang pun bisa bekerja efektif. Portal dapat difungsikan untuk laporan data atau investigasi mendalam, sementara media sosial menjadi jalur pertumbuhan cepat.

Menutup paparannya, Ardiansyah menegaskan pentingnya ketahanan strategi media lokal. “Tidak perlu bermimpi menjadi Kompas. Yang penting segmentasinya kuat, kolaborasinya hidup, dan kontennya terverifikasi. Itu cara media kecil tetap eksis dan relevan di era digital,” katanya. (Redaksi)