Analisis Ekonomi Ekonomi Pilihan redaksi Politik
Home » Proyek Gasifikasi Batu Bara Danantara: Antara Ambisi Kemandirian dan Bayang-bayang Risiko

Proyek Gasifikasi Batu Bara Danantara: Antara Ambisi Kemandirian dan Bayang-bayang Risiko

Semarang, Cakrawala – Di tengah hiruk pikuk pembangunan nasional, Proyek Gasifikasi Batu Bara Danantara kembali mencuat ke permukaan, menjadi sorotan utama dalam agenda pemerintah Presiden Prabowo Subianto.

Inisiatif ambisius ini bertujuan mengubah batu bara berkalori rendah yang melimpah di Indonesia menjadi Dimethyl Ether (DME), sebuah alternatif pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) impor yang selama ini membebani neraca perdagangan.

Namun, di balik janji kemandirian energi dan penciptaan lapangan kerja, proyek ini menyimpan kompleksitas ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial yang patut dicermati.

DME: Solusi atau Tantangan Baru?

Secara teknis, gasifikasi batu bara adalah proses termokimia yang mengubah batu bara padat menjadi syngas, campuran gas yang mudah terbakar, yang kemudian dapat disintesis menjadi DME.

Proyek Kejar Tayang Kopdes Merah Putih dan PP Era Jokowi Dibatalkan Mahkamah Agung

DME digadang-gadang sebagai pengganti langsung LPG untuk kebutuhan rumah tangga karena karakteristik fisiknya yang serupa. Namun, ada perbedaan krusial: satu kilogram DME hanya mengandung sekitar 70% energi dari satu kilogram LPG.

Ini berarti, untuk mendapatkan efek pemanasan yang setara, konsumen perlu menggunakan sekitar 1,6 kilogram DME. Lebih jauh, kompor LPG yang ada saat ini tidak kompatibel langsung dengan DME dan memerlukan modifikasi, yang berpotensi menambah beban biaya bagi masyarakat.

Danantara: Penopang Ambisi Nasional

Pemerintah memposisikan proyek gasifikasi ini sebagai bagian integral dari strategi hilirisasi sumber daya alam yang lebih luas, dengan target ambisius mencapai nilai hilirisasi USD 618 miliar pada tahun 2025.

Tujuan utamanya adalah mengurangi ketergantungan impor LPG yang mencapai sekitar 75-78% dari total konsumsi nasional, menghemat subsidi tahunan sekitar Rp 6-7 triliun, dan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja, baik selama konstruksi maupun operasional.

Mengungkap Tabir Kecurangan Beras Premium: Ancaman Tersembunyi di Balik Piring Nasi Kita

Peran sentral dalam pendanaan proyek ini kini diemban oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Pergeseran ini terjadi setelah investor asing, seperti Air Products, menarik diri dari proyek serupa karena dinilai tidak ekonomis akibat tingginya harga batu bara.

Pemerintah kini menegaskan bahwa modal investasi akan berasal dari sumber domestik, dengan hanya teknologi yang diimpor. Danantara sendiri berencana mengalokasikan sekitar USD 11 miliar (sekitar Rp 180 triliun) untuk empat proyek gasifikasi batu bara, menjadikannya investasi terbesar di antara inisiatif hilirisasi awal.

Jebakan Ekonomi dan Dilema Subsidi

Namun, kelayakan finansial proyek ini menjadi tanda tanya besar. Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan biaya produksi DME berkisar antara USD 614 hingga USD 651 per ton, jauh lebih tinggi dibandingkan harga LPG yang setara energi (sekitar USD 431 per ton).

Artinya, per unit energi, DME sekitar 42% lebih mahal daripada LPG. Kasus serupa di Tiongkok, di mana Shanxi Lanhua menghentikan produksi DME pada tahun 2023 karena kerugian, menjadi peringatan nyata.

K Fitness Perkuat Eksistensi di Semarang: Cabang Hasanudin Resmi Dibuka dengan Inovasi dan Layanan Kelas Dunia

Kritik juga datang dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang menilai pendanaan proyek DME oleh Danantara sebagai “pemborosan uang negara”. Apalagi, batu bara yang dialokasikan untuk proyek hilirisasi ini dapat memperoleh tarif royalti 0% di bawah Undang-Undang Cipta Kerja yang diperkirakan dapat menyebabkan hilangnya pendapatan negara hingga Rp 33,8 triliun per tahun.

Paradoks muncul ketika pemerintah mengklaim proyek ini akan menghemat subsidi LPG. Jika DME lebih mahal untuk diproduksi dan kurang efisien bagi konsumen, pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit: membiarkan konsumen membayar harga yang lebih tinggi atau memperkenalkan subsidi baru untuk DME.

Ini berpotensi mengalihkan atau bahkan memperbesar beban subsidi, merusak klaim efisiensi finansial.

Inkonsistensi Kebijakan dan Kepentingan Politik

Dukungan politik tingkat tinggi terhadap proyek ini sangat jelas, dengan instruksi langsung dari Presiden Prabowo. Proyek Tanjung Enim bahkan telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Namun, inisiatif ini dinilai sebagai “solusi palsu” untuk transisi energi. Para kritikus berpendapat bahwa proyek ini melanggengkan “ketergantungan batu bara” dan bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi penggunaan batu bara (coal phase down) pada tahun 2040.

Meskipun ada klaim bahwa gasifikasi adalah bagian dari transisi energi, studi independen menunjukkan emisi GRK yang lebih tinggi dibandingkan LPG.

Kekhawatiran juga muncul mengenai tata kelola Danantara yang dinilai “sangat longgar” dan potensi keterlibatan tokoh yang terpapar politik (politically exposed persons).

Ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan potensi konflik kepentingan, di mana kesejahteraan publik dan lingkungan dapat dikorbankan demi kepentingan “segelintir orang super kaya” yang memiliki koneksi politik.

Ancaman Lingkungan dan Beban Sosial

Dampak lingkungan dari proyek ini sangat serius. Produksi DME dari batu bara diproyeksikan menghasilkan 4,26 juta ton CO2 ekuivalen setiap tahun untuk kapasitas 1,4 juta ton DME, lima kali lipat lebih tinggi dari emisi LPG dalam jumlah setara.

Hal ini berpotensi merusak target Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) Indonesia di bawah Perjanjian Paris. Meskipun teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) diusulkan untuk mitigasi, implementasinya akan menambah biaya produksi DME.

Selain emisi, gasifikasi batu bara juga membutuhkan air dalam jumlah besar, menambah tekanan pada sumber daya air.

Aktivitas penambangan batu bara di hulu, yang menjadi bahan baku utama, secara historis terkait dengan kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Ini termasuk hilangnya habitat, polusi udara dan air (debu, air asam tambang), serta kerusakan wilayah pesisir.

Dari segi sosial, meskipun proyek menjanjikan penciptaan lapangan kerja, dampak negatif di hulu penambangan batu bara seringkali tidak proporsional ditanggung oleh masyarakat lokal. Ini mencakup kelangkaan air bersih, polusi udara yang merusak tanaman dan kesehatan (ISPA), kerusakan mata pencarian tradisional (nelayan, petani), hingga konflik sosial dan polarisasi masyarakat.

Tanpa partisipasi publik yang kuat dan mekanisme akuntabilitas yang transparan, hak masyarakat untuk hidup sejahtera dalam lingkungan yang bersih dan sehat dapat terabaikan.

Melihat ke Depan

Proyek Gasifikasi Batu Bara Danantara adalah cerminan dari tarik ulur antara ambisi pembangunan, ketahanan energi, dan tantangan keberlanjutan. Keputusan untuk melanjutkan proyek ini dengan pendanaan domestik, meskipun ada keraguan ekonomi dan lingkungan yang kuat, menunjukkan prioritas strategis pemerintah.

Namun, keberhasilan jangka panjang proyek ini tidak hanya akan diukur dari volume produksi DME atau penghematan impor, tetapi juga dari kemampuannya untuk mengatasi dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang kompleks.

Tanpa evaluasi ulang yang menyeluruh, harmonisasi kebijakan yang konsisten, dan tata kelola yang transparan, ambisi kemandirian energi ini berisiko menciptakan beban yang lebih besar bagi negara dan generasi mendatang.

Dengarkan audio podcast mengenai hal ini