JAKARTA, Cakrawala – Fenomena premanisme yang berkedok organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan, tidak hanya mengganggu ketertiban umum tetapi juga menghambat iklim investasi nasional. Data kepolisian mencatat lonjakan kasus pengeroyokan dan perampasan, memicu desakan agar pemerintah mengambil langkah lebih tegas dan komprehensif.
Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri melaporkan, kasus pengeroyokan, salah satu bentuk umum premanisme, melonjak dari 8.830 kasus pada 2022 menjadi 17.107 kasus pada 2024. Kasus perampasan juga mencapai ribuan dalam periode yang sama. Hingga 9 Mei 2025, kepolisian telah menindak 3.326 kasus premanisme, namun angka keseluruhan menunjukkan masalah ini bersifat persisten.
Modus Operandi dan Dampak Ekonomi
Premanisme berkedok Ormas kerap berfokus pada pemerasan, pungutan liar, intimidasi, hingga kekerasan fisik. Mereka memanfaatkan “kedok organisasi formal” untuk memberikan legitimasi semu pada aktivitas kriminal, seperti penguasaan lahan parkir ilegal, pungutan liar di pasar, atau permintaan “uang keamanan” dan Tunjangan Hari Raya (THR) secara paksa dari pelaku usaha.
Contoh terbaru adalah kasus di RSUD Tangerang Selatan pada Mei 2025, di mana 31 anggota Ormas Pemuda Pancasila ditetapkan sebagai tersangka atas kekerasan dan intimidasi terkait penguasaan lahan parkir. Ketua Majelis Pimpinan Cabang (MPC) PP Tangsel berinisial MR bahkan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Ormas ini disebut telah menguasai lahan parkir selama delapan tahun, menyebabkan kerugian ratusan juta rupiah bagi vendor dan hilangnya potensi pendapatan daerah.
Kasus lain melibatkan GRIB Jaya, yang anggotanya ditetapkan sebagai tersangka premanisme terkait parkir liar di Thamrin City, Jakarta Pusat. Ormas ini juga terlibat dalam pembakaran tiga mobil polisi di Depok, bentrok dengan Pemuda Pancasila di Bandung dan Blora, serta penyegelan perusahaan di Kalimantan Tengah.
Dampak ekonomi dari praktik ini sangat signifikan. Premanisme menciptakan “pajak bayangan” yang meningkatkan biaya operasional bisnis, membuat Indonesia kurang menarik bagi investor dibandingkan negara tetangga. Ketua MPR Ahmad Muzani bahkan menyebut Ormas bermasalah bisa mengganggu ketenangan iklim investasi.
Kelemahan Regulasi dan Penegakan Hukum
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) sebenarnya telah mengatur larangan dan sanksi, mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan status badan hukum. Namun, implementasinya menghadapi tantangan serius.
“Kelemahan dalam kerangka hukum dan penegakannya menjadi faktor signifikan yang memungkinkan premanisme dalam Ormas terus eksis,” demikian salah satu temuan riset. Inkonsistensi penegakan hukum menjadi sorotan utama. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah memadai untuk menindak berbagai pelanggaran, aparat penegak hukum seringkali enggan bertindak tegas ketika pelaku mengatasnamakan Ormas tertentu.
Selain itu, UU Ormas dikritik memiliki “kesalahan konseptual” seperti kategorisasi Ormas yang membingungkan dan kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang terlalu luas dalam pengawasan, yang dinilai sentralistik dan represif. Perubahan mekanisme pembubaran Ormas yang menghilangkan peran pengadilan juga mengancam kebebasan berserikat dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan.
Perlukah Lembaga Khusus? Pro dan Kontra
Wacana pembentukan lembaga khusus untuk memverifikasi, menertibkan, dan meluruskan fungsional Ormas memunculkan pro dan kontra.
Pihak yang mendukung berpendapat bahwa lembaga independen dapat mengisi kesenjangan pengawasan, meningkatkan verifikasi dan akuntabilitas, serta memastikan penertiban yang konsisten dan imparsial. Model seperti Dewan Pers, yang berfungsi menjaga etika dan independensi media, sering disebut sebagai inspirasi.
Namun, pihak yang kontra berargumen bahwa regulasi yang ada sudah cukup dan masalahnya terletak pada penegakan hukum yang lemah. Pembentukan lembaga baru dikhawatirkan dapat menjadi alat represif pemerintah untuk mengontrol Ormas kritis, mengancam kebebasan berserikat, dan menambah birokrasi.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Untuk mengatasi permasalahan ini, kajian merekomendasikan pendekatan komprehensif:
- Penguatan Penegakan Hukum: Prioritaskan penindakan hukum terhadap premanisme berkedok Ormas secara tegas dan konsisten, menyasar aktor intelektual dan jaringan ekonomi di baliknya. Tingkatkan kapasitas dan integritas aparat penegak hukum, serta sediakan mekanisme pelaporan yang aman bagi korban.
- Reformasi UU Ormas: Lakukan revisi komprehensif UU Ormas untuk membedakan Ormas dan organisasi masyarakat sipil (CSO) berbadan hukum, menghapus pendaftaran ganda, mengembalikan mekanisme pembubaran melalui pengadilan, dan membatasi kewenangan Kemendagri.
- Pendekatan Sosial-Ekonomi dan Tata Kelola Lokal: Atasi akar masalah sosial-ekonomi seperti kesenjangan dan pengangguran yang mendorong individu terlibat premanisme. Perkuat tata kelola pemerintahan lokal dan berantas patronase politik yang melindungi praktik ilegal.
- Peningkatan Akuntabilitas Internal Ormas: Dorong Ormas untuk menerapkan mekanisme self-regulation, kode etik, dan transparansi keuangan yang kuat. Berikan insentif bagi Ormas yang berkontribusi positif.
Jika masalah premanisme masih persisten setelah langkah-langkah di atas, pembentukan lembaga khusus dapat dipertimbangkan dengan syarat independensi mutlak, mandat yang jelas dan terbatas pada kepatuhan hukum, serta mekanisme sanksi yudisial. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan di mana Ormas dapat berfungsi optimal sebagai pilar demokrasi, bebas dari penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan menghambat kemajuan bangsa.
Dengarkan podcast Cakrawala dengan pembahasan mendalam pada media dibawah ini: