JAKARTA, Cakrawala – Raksasa barang konsumen global, Procter & Gamble (P&G), mengumumkan rencana strategis untuk memangkas hingga 7.000 posisi secara global dalam dua tahun ke depan. Langkah ini, yang akan dimulai pada tahun fiskal 2026 (Juli 2025), merupakan bagian integral dari program restrukturisasi yang lebih luas, bukan sekadar upaya pemotongan biaya langsung. P&G menargetkan peningkatan efisiensi operasional, pembentukan tim yang lebih ramping, serta pemanfaatan digitalisasi dan otomatisasi untuk mencapai model pertumbuhan yang lebih gesit dan berkelanjutan.
Pemangkasan ini diperkirakan akan memengaruhi sekitar 6% dari total 108.000 karyawan P&G di seluruh dunia per Juni 2024. Lebih spesifik lagi, sekitar 15% dari posisi non-manufaktur perusahaan akan terdampak.
Tekanan Tarif dan Perlambatan Konsumen Mendorong Restrukturisasi
Keputusan P&G ini didorong oleh beberapa faktor eksternal yang signifikan. Salah satunya adalah dampak tarif yang diberlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, yang menyebabkan kenaikan biaya bahan baku dan produk jadi. P&G memperkirakan dampak pra-pajak dari tarif ini akan mencapai sekitar $600 juta di tahun fiskal 2026.
Selain itu, perlambatan permintaan konsumen global di tengah inflasi dan ketidakpastian ekonomi juga menjadi pendorong utama. Sentimen konsumen di AS telah menurun selama lima bulan berturut-turut hingga Mei 2025, mencapai salah satu titik terendah dalam hampir 75 tahun terakhir. P&G mengamati adanya “konsumen yang lebih gugup” dan “lingkungan ekonomi yang semakin volatil,” yang secara langsung memengaruhi keputusan pembelian.
CFO P&G, Andre Schulten, menjelaskan bahwa restrukturisasi ini adalah “langkah penting menuju kemampuan kami untuk memberikan algoritma jangka panjang kami selama dua hingga tiga tahun ke depan,” meskipun ia mengakui bahwa hal ini tidak akan menghilangkan tantangan jangka pendek yang saat ini dihadapi perusahaan. P&G juga berencana untuk mencari opsi sourcing baru dan meningkatkan produktivitas, serta kemungkinan menaikkan harga pada beberapa produknya sebagai langkah mitigasi.
Fokus pada Digitalisasi dan Optimalisasi Portofolio
Pemangkasan tenaga kerja ini secara khusus menargetkan posisi non-manufaktur, mengindikasikan upaya P&G untuk meningkatkan efisiensi di fungsi-fungsi korporat dan pendukung. P&G menyatakan tujuan utamanya adalah menciptakan “desain organisasi yang lebih gesit, berdaya, dan akuntabel” dengan “membuat peran lebih luas, tim yang lebih kecil, pekerjaan yang lebih memuaskan dan lebih efisien, termasuk memanfaatkan peluang digitalisasi dan otomatisasi.” Hal ini menunjukkan bahwa PHK ini bukan sekadar respons reaktif, melainkan akselerasi dari strategi jangka panjang untuk memanfaatkan teknologi.
Sebagai bagian dari strategi restrukturisasi yang lebih luas, P&G juga berencana untuk menyempurnakan portofolio produknya, termasuk mendivestasi merek-merek yang lebih kecil atau kurang strategis. Tujuannya adalah untuk memfokuskan sumber daya pada “merek-merek unggulan” (power brands) yang menghasilkan sebagian besar penjualan perusahaan.
Tren Global dan Pandangan Analis
Langkah P&G ini bukanlah insiden terisolasi di industri barang konsumen yang bergerak cepat (FMCG). Pesaing utama seperti Unilever juga telah mengumumkan pemangkasan 6.000 pekerjaan, dan Kimberly-Clark berencana memangkas 4-5% dari total tenaga kerjanya. Tren PHK massal ini meluas ke berbagai sektor lain, termasuk teknologi (Microsoft, Meta, Salesforce) dan energi (Chevron, BP), yang sebagian besar didorong oleh kebutuhan restrukturisasi, peningkatan efisiensi operasional, dan adaptasi terhadap kondisi pasar yang berubah.
Analis pasar menggambarkan restrukturisasi P&G sebagai “pembersihan musim semi skala besar” (spring cleaning at scale). Christian Greiner, manajer portofolio senior di F/m Investments, menyatakan bahwa “jendela dua tahun memberikan mereka fleksibilitas dalam hal waktu dan kedalaman pemotongan, karena situasi tarif sangat cair.” Ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar sedang melakukan perombakan struktural yang mendalam, tidak hanya bereaksi terhadap tekanan ekonomi jangka pendek, tetapi secara proaktif mengoptimalkan model operasi mereka untuk masa depan yang lebih digital dan otomatis.
Konteks Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Pasar tenaga kerja Indonesia juga menghadapi gelombang PHK yang signifikan pada awal tahun 2025. Antara Januari dan April 2025, setidaknya 70.000 pekerja di Indonesia telah kehilangan pekerjaan, menurut data yang dirilis oleh Partai Buruh dan konfederasi serikat pekerja. Angka ini jauh melebihi data pemerintah yang melaporkan 24.000 PHK hingga Mei 2025, memicu tuduhan manipulasi data dari pihak serikat pekerja. Sektor manufaktur adalah yang paling terpukul, diikuti oleh perdagangan grosir dan eceran, serta jasa.
Meskipun P&G mengumumkan PHK global, tidak ada informasi spesifik yang tersedia mengenai dampak langsung pemangkasan tenaga kerja P&G di Indonesia atau tanggapan khusus dari Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Perindustrian terkait hal ini. Namun, tren PHK di Indonesia menunjukkan adanya tekanan ekonomi dan kebutuhan efisiensi yang juga dirasakan di tingkat lokal.
Secara keseluruhan, langkah P&G ini mencerminkan adaptasi strategis terhadap lingkungan bisnis yang semakin menantang, dengan fokus pada efisiensi jangka panjang yang didorong oleh teknologi dan optimalisasi portofolio merek.