Dalam upaya mencapai swasembada pangan, pemerintah telah mencanangkan program ambisius berupa cetak sawah baru seluas 3 juta hektare di luar Pulau Jawa. Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional di tengah ancaman perubahan iklim dan alih fungsi lahan yang semakin meluas. Namun, program ini menghadapi tantangan besar berupa alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa yang semakin masif.
Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa program cetak sawah baru akan difokuskan di kawasan luar Jawa, termasuk Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Lahan-lahan potensial di kawasan ini akan dioptimalkan untuk mendukung produksi beras nasional. Pemerintah menargetkan program ini selesai dalam beberapa tahun mendatang, dengan investasi besar yang mencakup pembangunan irigasi, penyediaan alat mesin pertanian (alsintan), dan pelatihan petani lokal.
“Kawasan luar Jawa memiliki potensi lahan yang besar. Dengan teknologi pertanian modern, kami optimis sawah-sawah baru ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap produksi beras nasional,” ujar Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/1).
Namun, di tengah optimisme program tersebut, alih fungsi lahan sawah menjadi salah satu isu mendesak yang mengancam upaya swasembada pangan. Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa Pulau Jawa, yang selama ini menjadi sentra produksi beras nasional, mengalami pengurangan lahan sawah secara signifikan. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 150.000 hektare lahan sawah di Jawa telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman, industri, dan infrastruktur.
“Pulau Jawa menghadapi tekanan yang besar akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pembangunan. Jika alih fungsi lahan tidak dikendalikan, target swasembada pangan akan sulit tercapai,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Center for Agricultural Policy Studies, Dr. Rahmat Hidayat.
Program cetak sawah baru ini juga memunculkan sejumlah pertanyaan terkait keberlanjutan dan efisiensi. Beberapa pakar pertanian mengingatkan bahwa lahan sawah baru di luar Jawa memiliki tantangan geografis dan ekologis yang berbeda. Misalnya, beberapa wilayah membutuhkan investasi besar untuk membangun infrastruktur irigasi dan mengatasi keterbatasan kesuburan tanah.
Selain itu, pemerintah juga didesak untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan sawah yang ada, baik di Jawa maupun di luar Jawa. “Program cetak sawah baru perlu diimbangi dengan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan lahan sawah yang ada dan meningkatkan produktivitas petani,” ungkap Prof. Budi Santoso, pakar agronomi dari Universitas Gadjah Mada.
Untuk mengatasi tantangan ini, sinergi antarinstansi menjadi hal yang krusial. Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, dan pemerintah daerah harus bekerja sama untuk mengendalikan alih fungsi lahan serta memastikan program cetak sawah baru berjalan sesuai rencana.
Sebagai bagian dari upaya ini, pemerintah juga akan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk akademisi, sektor swasta, dan organisasi petani. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat implementasi program sekaligus menjaga keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia.
Program cetak sawah baru merupakan langkah strategis untuk menjamin ketahanan pangan di masa depan. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah mengatasi tantangan alih fungsi lahan di Jawa dan memastikan keberlanjutan lahan sawah baru di luar Jawa. Dengan sinergi yang baik, program ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita swasembada pangan dan memperkuat ketahanan pangan nasional.