Analisis Politik Pilihan redaksi Politik
Home » Pasca Mundurnya Hasan Nasbi, Siapa yang Layak Pimpin Komunikasi Istana?

Pasca Mundurnya Hasan Nasbi, Siapa yang Layak Pimpin Komunikasi Istana?

Jakarta, Cakrawala — Pengunduran diri Hasan Nasbi dari jabatan Kepala Kantor Komunikasi Presiden (Presidential Communication Office/PCO) menyisakan tanda tanya besar di kalangan publik dan media. Mundurnya pria yang dikenal sebagai konsultan politik dan pendiri Cyrus Network itu dinilai sebagai puncak dari berbagai kegaduhan dalam tubuh komunikasi pemerintahan Prabowo-Gibran. Kini, perhatian tertuju pada siapa sosok yang akan menggantikan Nasbi—di tengah sorotan tajam terhadap arah komunikasi negara.

Hasan menyatakan pengunduran dirinya sebagai “langkah memberi kesempatan kepada figur yang lebih baik”, tetapi publik membaca lebih jauh. Setidaknya dua insiden menempatkan komunikasi Istana dalam posisi defensif: pertama, larangan peliputan media saat Presiden Prabowo memberi pengarahan kepada para petinggi BUMN di Danantara, dan kedua, komentar Nasbi soal kepala babi ‘dimasak saja’ yang justru menimbulkan kemarahan luas di kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers.

Kedua peristiwa itu memperkuat kesan bahwa komunikasi pemerintahan saat ini terlalu eksklusif, jauh dari prinsip transparansi publik. Kritik tajam muncul dari organisasi pers, akademisi, hingga politisi lintas partai. Banyak yang menilai, inilah saat yang tepat bagi Presiden Prabowo untuk menata ulang pendekatan komunikasinya—bukan sekadar memperbaiki pencitraan, tapi membangun kembali trust antara pemerintah dan masyarakat.

Dahnil dan Valdryno di Pusaran Kandidat Internal

Setelah mundurnya Hasan, dua nama dari lingkar dalam Istana disebut-sebut sebagai kandidat kuat: Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara resmi Presiden; serta Noudhy Valdryno, Deputi Kepala PCO yang dikenal melek digital dan komunikatif.

Proyek Kejar Tayang Kopdes Merah Putih dan PP Era Jokowi Dibatalkan Mahkamah Agung

Dahnil adalah sosok lama di lingkaran Prabowo. Ia dikenal militan, lantang, dan sering tampil membela kebijakan Presiden di berbagai forum. Jika Prabowo ingin menguatkan barisan loyalis, Dahnil adalah pilihan rasional.

Sementara Valdryno, yang juga dikenal sebagai eks jubir digital Jokowi pada Pilpres 2019, punya kekuatan pada komunikasi modern dan keterhubungan dengan generasi muda. Ia lebih teknokratis dan selama ini menjadi perancang banyak pesan visual dan kampanye daring Istana.

Namun keduanya juga membawa tantangan tersendiri. Dahnil sudah menjabat jubir, dan penggabungan peran dengan posisi struktural seperti Kepala PCO bisa menimbulkan beban kerja ganda. Valdryno memiliki masa lalu politik di PSI yang bisa menjadi pertimbangan di tengah konsolidasi pasca pemilu.

Kandidat Profesional dan Sinyal Rekonsiliasi

Di luar nama-nama internal, muncul sejumlah figur dari kalangan profesional yang berpotensi membawa nuansa baru. Di antaranya Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN, dan Eko Sulistyo, mantan Deputi IV KSP era Jokowi.

Mengungkap Tabir Kecurangan Beras Premium: Ancaman Tersembunyi di Balik Piring Nasi Kita

Arya dikenal piawai dalam komunikasi krisis dan punya pengalaman panjang di media. Sementara Eko merupakan figur NU yang lama bergelut di dunia pers dan aktivisme. Meski begitu, afiliasi mereka dengan pemerintahan Jokowi bisa saja dipandang kurang sejalan dengan semangat “peremajaan loyalis” yang diusung kubu Gerindra.

Menariknya, dalam situasi saat ini, sejumlah pihak justru mendorong agar Presiden mempertimbangkan figur dari kalangan pers independen sebagai Kepala PCO. Hal ini dinilai penting untuk memulihkan hubungan dengan media serta menunjukkan komitmen pada keterbukaan informasi. Figur seperti jurnalis senior atau mantan pemimpin redaksi—misalnya Desi Anwar, eks CNN Indonesia; Uni Lubis, mantan Pemred ANTV dan IDN Times; atau bahkan senior seperti Karni Ilyas—bisa menjadi jembatan antara Istana dan dunia pemberitaan yang akhir-akhir ini dirasa “terputus frekuensinya”.

“Kalau Prabowo ingin narasi pemerintah diterima publik, ia perlu komunikator yang paham ritme redaksi, bukan sekadar buzzer atau konsultan. Sosok dari dunia jurnalistik bisa memberi keseimbangan antara strategi dan etika komunikasi,” ujar Irma Sani, pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina politik.

Penentu Arah Komunikasi Nasional

Siapapun yang ditunjuk, Kepala PCO akan memegang peran strategis dalam menentukan wajah pemerintahan Prabowo-Gibran di mata rakyat. Di tengah tantangan polarisasi, tekanan sosial media, dan ekspektasi publik yang tinggi, jabatan ini lebih dari sekadar juru bicara—ia adalah arsitek narasi negara.

K Fitness Perkuat Eksistensi di Semarang: Cabang Hasanudin Resmi Dibuka dengan Inovasi dan Layanan Kelas Dunia

Dengan masa awal pemerintahan yang masih hangat, keputusan Prabowo dalam memilih Kepala PCO baru bisa menjadi pesan politik yang penting: apakah Istana ingin menutup diri, atau mulai membuka ruang dialog yang sehat dengan media dan publik?