JAKARTA – Di balik suara nozel mengisi tangki kendaraan di SPBU Pertamina, ada kisah panjang perdagangan energi lintas negara. Selama dua dekade terakhir, Singapura menjadi pemasok utama bahan bakar minyak (BBM) ke Indonesia — ironis, mengingat negara itu tidak memiliki satu pun ladang minyak.
Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa lebih dari 30% impor BBM Indonesia berasal dari Singapura hingga tahun 2023. Namun, dalam dua tahun terakhir, kebijakan energi nasional mulai bergeser: Indonesia mulai melirik negara-negara produsen langsung, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan bahkan Amerika Serikat.
“Singapura adalah hub energi regional, bukan produsen. Mereka menyuling dan mengekspor BBM ke kawasan, termasuk ke Indonesia,” jelas Fabi Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), saat dihubungi Tempo.
Impor Produk Jadi, Bukan Minyak Mentah
Masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah kapasitas kilang dalam negeri yang belum memadai. Dari sekitar 1,6 juta barrel kebutuhan per hari, hanya sekitar 800 ribu barrel yang bisa dipenuhi dari kilang dalam negeri seperti Cilacap, Balikpapan, dan Dumai. Sisanya harus diimpor, terutama dalam bentuk BBM siap pakai.
Singapura memiliki kilang kelas dunia milik ExxonMobil dan Shell yang sanggup memproses jutaan barrel per hari. Produk hasil olahan ini dijual ke negara-negara Asia Tenggara melalui pelabuhan Jurong, yang dikenal sebagai salah satu pusat logistik dan perdagangan energi terbesar di dunia.
Diversifikasi Pasokan: Amerika dan Timur Tengah
Mulai 2023, Pertamina melalui sub-holding Pertamina Patra Niaga dan Pertamina International Shipping mulai menjalin kontrak langsung ke negara-negara produsen minyak mentah dan BBM. Langkah ini ditempuh untuk mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat ketahanan energi nasional.
“Kami mengembangkan kerja sama strategis dengan Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat untuk pembelian produk BBM secara langsung,” ujar Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia tahun lalu.
Faktor Geopolitik dan Harga
Perubahan ini juga didorong oleh ketidakpastian global. Perang di Ukraina, ketegangan Laut Merah, dan gangguan rantai pasok dari Timur Tengah membuat pemerintah mencari alternatif yang lebih stabil.
AS, yang sejak ledakan produksi shale oil menjadi eksportir energi utama dunia, menjadi pilihan logis. Sementara UEA dan Arab Saudi menawarkan kontrak jangka panjang dengan harga kompetitif.
“Diversifikasi ini juga untuk menjamin pasokan energi di tengah volatilitas geopolitik,” jelas Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional.
Masih Bergantung pada Singapura?
Meskipun Indonesia mulai melirik produsen langsung, ketergantungan pada Singapura belum bisa sepenuhnya dihentikan. Pasalnya, kedekatan geografis, infrastruktur logistik, dan kecepatan distribusi masih membuat Singapura unggul dalam keadaan darurat pasokan.
“Singapura akan tetap menjadi bagian dari rantai pasok regional kita, minimal untuk jangka menengah,” ungkap Rida Mulyana, Sekjen Kementerian ESDM, dalam Forum Energi Nasional 2024.