PATI, Cakrawala – Saat fajar baru menyapa Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, pada Rabu, 7 Mei 2025, dua rumah petani tiba-tiba dirubuhkan. Tak ada surat edaran, tak ada sosialisasi — hanya deru mesin alat berat dan gelombang massa bertopeng.
Seperti yang dilansir oleh Radar Pati, puluhan orang yang diduga karyawan PT Laju Perdana Indah (LPI) tiba sekitar pukul 09.00 WIB. “Kami konfirmasi, lahan ini milik PT LPI berdasarkan akta jual beli sah dari PT BAPPIPUNDIP pada 16 Februari 2001,” ujar Pramono Sidiq, perwakilan PT LPI, saat buka suara Sabtu, 10 Mei 2025.
Meski demikian, warga menolak klaim tersebut. Dalam pernyataan sikap yang diunggah GERMAPUN di akun Instagram @petanipundenrejo, organisasi petani menegaskan HGB PT LPI telah kedaluwarsa sejak 27 September 2024 dan permohonan perpanjangan telah dikembalikan BPN Pati karena berkas tidak lengkap.
Jejak Penggusuran Berulang
Ini bukan kali pertama tanah sengketa memakan korban. Pada 13 Maret 2025, enam truk berisi sekitar 100 orang menumbangkan Joglo Juang—posko perjuangan petani—dalam waktu kurang dari tiga jam tanpa sepucuk surat resmi. Beberapa pekan kemudian, 23 April 2025, satu rumah petani dibongkar paksa saat pemiliknya sedang bekerja di ladang.
Suara Korban dan Advokat
Ketika kegentingan mencapai puncaknya, Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo membawa kasus ini ke Markas Polres Pati. “Yang menjadi terlapor adalah orang-orang yang diduga dikerahkan Pimpinan PT LPI dan Pimpinan PT LPI itu sendiri,” kata Kristoni Duha, tim advokasi GERMAPUN, kepada Murianews.com, Sabtu (10/5/2025). Dia menambahkan bahwa tindakan itu melanggar Pasal 170 jo. Pasal 55 KUHP tentang kekerasan di muka umum.
Dampak Ganda: Materi dan Psikis
Warga yang rumahnya rata dengan tanah kini menumpang sanak famili; sebagian anak terpaksa putus sekolah akibat trauma. “Kerugian materiil puluhan juta rupiah, psikologis lebih dalam,” tulis GERMAPUN dalam unggahan Instagram mereka.
Akar Masalah dan Jalan Keluar
Konflik ini bermuara pada pertentangan antara akta jual beli warisan kolonial dan praktik agraria modern. HGB semestinya dapat diperpanjang—namun BPN Pati mencoret permohonan LPI karena dokumen tak lengkap. Apakah perusahaan pantas mengeksekusi lahan tanpa putusan pengadilan?
Tempo dalam reportasenya menilai, negara harus hadir:
- Penegakan Hukum – Kepolisian segera proses laporan GERMAPUN terkait perusakan properti.
- Mediasi Terbuka – Kementerian ATR/BPN fasilitasi dialog dengan melibatkan Komnas HAM.
- Percepatan Reforma Agraria – Sertifikasi lahan untuk petani kecil sebagai solusi jangka panjang.
Saat pepohonan tebu kembali bergoyang, nasib Pundenrejo menggantung di udara. Akankah janji HGB berubah jadi tragedi petani? Atau akankah keadilan menepi, meninggalkan debu reruntuhan?.