JAKARTA, Cakrawala – Pernyataan yang menyebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengizinkan PT GAG Nikel menambang di Raja Ampat adalah tidak akurat dan menyesatkan. KLHK justru menunjukkan sikap tegas dengan mengidentifikasi berbagai pelanggaran dan menyatakan niat untuk mencabut izin lingkungan bagi perusahaan yang terbukti merusak ekosistem.
Situasi ini menyoroti benturan antara konsesi penambangan historis dan kerangka hukum lingkungan yang semakin ketat, di tengah desakan kuat dari masyarakat dan pegiat lingkungan untuk melindungi keanekaragaman hayati Raja Ampat yang tak ternilai.
Raja Ampat: Surga Keanekaragaman Hayati di Ujung Tanduk
Raja Ampat, yang terletak di Papua Barat Daya, diakui secara global sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut paling penting di dunia. Wilayah ini menjadi rumah bagi sekitar 75% spesies karang yang dikenal di dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan, menjadikannya ekosistem laut yang sangat vital.
Keindahan alamnya yang tak tertandingi juga telah menjadikannya tujuan wisata internasional utama. Pada tahun 2023, Raja Ampat bahkan resmi ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark, mengukuhkan nilai geologi dan ekologisnya yang luar biasa.
Untuk melindungi sumber daya ini, sembilan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) pertama didirikan pada tahun 2004. Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Laut Raja Ampat 2019-2038 secara eksplisit melarang survei seismik dan semua jenis aktivitas penambangan di dalam batas-batasnya .
PT GAG Nikel: Izin Historis di Tengah Kontroversi
PT GAG Nikel (PT GN) adalah anak perusahaan dari PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Antam), perusahaan pertambangan milik negara. Perusahaan ini beroperasi di bawah Kontrak Karya (KK) Generasi VII No. B53/Pres/I/1998, yang diterbitkan pada 19 Januari 1998, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
PT GAG Nikel termasuk dalam daftar 13 perusahaan yang diizinkan melanjutkan operasi di kawasan hutan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 (Keppres 41/2004) dan amandemennya, Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2023 (Keppres 3/2023).
Izin perusahaan ini terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan nomor perizinan 430.K/30/DJB/2017, berlaku hingga tahun 2047. Area izin penambangan PT GAG Nikel mencakup 13.136,00 hektar.
Pada 5 Juni 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengumumkan penghentian sementara operasi penambangan PT GAG Nikel di Raja Ampat. Penghentian ini dipicu oleh laporan publik mengenai potensi dampak lingkungan.
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara ESDM, Tri Winarno, pada 7 Juni 2025, menyatakan bahwa aktivitas penambangan PT GAG Nikel tidak menunjukkan “indikasi pelanggaran” dan “tidak ada sedimentasi” dari pengamatan udara, mengklaim tambang tersebut “tidak bermasalah”.
Pelaksana tugas direktur utama PT GAG Nikel, Arya Arditya, juga menegaskan bahwa perusahaan beroperasi dengan izin hukum lengkap dan mengikuti “praktik penambangan yang baik”.
Benturan Hukum: Izin Lama vs. Perlindungan Lingkungan Baru
Meskipun PT GAG Nikel memiliki izin historis, operasinya berbenturan dengan kerangka hukum lingkungan yang lebih baru dan ketat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) mendefinisikan “Pulau Kecil” sebagai pulau dengan luas 2.000 km² atau kurang.
Pulau Gag, dengan luas sekitar 60 km², secara eksplisit diklasifikasikan sebagai pulau kecil. UU PWP3K memprioritaskan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk tujuan ramah lingkungan seperti konservasi, pariwisata, dan perikanan berkelanjutan.
Yang terpenting, Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (yang relevan melalui UU No. 1 Tahun 2014) melarang penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil jika “secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya”.
Larangan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 pada 21 Maret 2024, yang secara eksplisit menguatkan larangan bersyarat tersebut. Mahkamah menekankan bahwa penambangan mineral di area-area ini dapat menyebabkan “kerusakan yang tidak dapat dipulihkan” dan melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan serta “keadilan antar generasi” .
Sikap Tegas KLHK dan Kekhawatiran Antar-Kementerian
Sikap KLHK secara langsung bertentangan dengan anggapan bahwa mereka mengizinkan penambangan. Menteri KLHK Hanif Faisol Nurofiq secara tegas menyatakan bahwa kementerian telah mengidentifikasi “beberapa pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan dan tata kelola pulau kecil” di Raja Ampat .
KLHK melakukan pengawasan langsung dari 26 hingga 31 Mei 2025. Menteri Hanif menyatakan bahwa KLHK “tidak akan ragu untuk mencabut izin jika ada bukti kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan” .
KLHK secara aktif mengevaluasi persetujuan lingkungan yang dimiliki oleh PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dan PT GAG Nikel, dengan tujuan eksplisit untuk mencabutnya jika terbukti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
KLHK juga telah menyegel empat lokasi penambangan dan menghentikan semua aktivitas eksplorasi PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) karena tidak memiliki dokumen lingkungan.
Pelanggaran spesifik yang ditemukan KLHK meliputi PT ASP yang menambang di Pulau Manuran tanpa sistem pengelolaan lingkungan, menyebabkan sedimentasi . PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) ditemukan telah membuka tambang di luar izin lingkungannya dan di luar area PPKH, menyebabkan sedimentasi di sepanjang pantai . Kementerian Kehutanan, bagian dari KLHK, juga telah menginstruksikan penghentian sementara penerbitan PPKH baru di Raja Ampat karena kekhawatiran lingkungan.
Di sisi lain, meskipun Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menghentikan sementara operasi PT GAG Nikel, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara ESDM, Tri Winarno, mengklaim tidak ada “indikasi pelanggaran” atau “sedimentasi” dari pengamatan udara. Kontradiksi ini menunjukkan kurangnya harmonisasi kebijakan yang signifikan di dalam pemerintahan.
Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardana, juga mengambil sikap tegas menentang perluasan penambangan nikel di Raja Ampat. Setelah berdiskusi dengan penduduk lokal dan komunitas adat, ia melaporkan “penolakan yang luar biasa” terhadap perluasan penambangan nikel, menekankan bahwa Raja Ampat harus dipertahankan sebagai area wisata, bukan diubah menjadi zona industri ekstraktif.
Dampak Lingkungan dan Gelombang Penolakan Publik
Investigasi oleh organisasi non-pemerintah (ORNOP) lingkungan seperti Greenpeace Indonesia dan Auriga Nusantara telah mengungkapkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi asli telah dibersihkan untuk tambang nikel di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran . Laporan Auriga Nusantara mencatat bahwa lahan yang digunakan untuk penambangan di Raja Ampat meningkat sekitar 494 hektar dari tahun 2020 hingga 2024, tiga kali lebih tinggi dari lima tahun sebelumnya .
Dampak kritis lainnya adalah limpasan tanah dan sedimentasi yang mengalir langsung ke laut, secara serius membahayakan terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat yang masih asli.
Masyarakat lokal telah melaporkan penurunan kualitas air yang nyata, dengan air menjadi “semakin keruh” sejak penambangan dimulai . Para ahli memperingatkan bahwa aktivitas penambangan nikel berpotensi menyebabkan “kerusakan yang tidak dapat dipulihkan” pada ekosistem.
Gelombang penolakan publik terhadap penambangan nikel di Raja Ampat sangat kuat. Greenpeace Indonesia telah melakukan protes dan memproduksi video yang memicu kemarahan publik. Organisasi seperti Auriga Nusantara, Satya Bumi, Konservasi Indonesia, dan PILHI juga secara konsisten menyuarakan kekhawatiran dan menuntut moratorium penambangan permanen.
Masyarakat lokal dan kelompok adat menunjukkan “penolakan yang luar biasa,” karena mata pencarian mereka bergantung pada perikanan dan pariwisata.
Asosiasi Hotel dan Restoran Indonesia juga menyatakan keprihatinan tentang ancaman terhadap industri pariwisata vital di wilayah tersebut.
Dengan bukti kerusakan lingkungan yang meluas dan penolakan publik yang bersatu, masa depan penambangan nikel di Raja Ampat masih menjadi tanda tanya besar, di mana perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi harus menemukan titik keseimbangan yang adil.