Analisis Politik Pilihan redaksi
Home » Ketika Sejarah Dipertaruhkan: Mengurai Upaya Penghilangan Narasi Tragedi Mei 1998 dan Bayang-Bayang Akuntabilitas

Ketika Sejarah Dipertaruhkan: Mengurai Upaya Penghilangan Narasi Tragedi Mei 1998 dan Bayang-Bayang Akuntabilitas

Ilustrasi dibuat dengan SORA

JAKARTA, CAKRAWALA – Dua puluh enam tahun setelah api reformasi membakar Indonesia, bayang-bayang kelam Tragedi Mei 1998 masih menghantui. Peristiwa yang menorehkan luka mendalam dalam sejarah bangsa ini kini kembali menjadi sorotan, bukan hanya karena tuntutan keadilan yang tak kunjung usai, tetapi juga karena adanya upaya sistematis untuk merevisi dan bahkan menghilangkan narasi tragis tersebut dari catatan sejarah nasional. Di tengah wacana “mempositifkan” sejarah, pertanyaan besar muncul: siapa yang diuntungkan dari narasi baru ini, dan bagaimana dampaknya terhadap kebenaran dan akuntabilitas, terutama terkait peran tokoh-tokoh kunci seperti Prabowo Subianto?

Krisis yang Memicu Badai: Akar Gejolak 1998

Menjelang tahun 1998, Indonesia terperosok dalam krisis multidimensi yang parah. Krisis finansial Asia pada Juli 1997 menghantam telak, membuat nilai tukar rupiah anjlok drastis hingga mencapai Rp 15.000 per dolar AS pada awal 1998. Ekonomi yang ambruk ini memicu inflasi tak terkendali, pengangguran massal, dan kelangkaan kebutuhan pokok, menciptakan keresahan yang meluas di seluruh lapisan masyarakat.

Di sisi lain, rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, menghadapi gelombang ketidakpuasan publik. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela, ditambah dengan sistem politik yang otoriter dan dugaan kecurangan dalam Pemilu 1997, memicu gelombang protes mahasiswa yang semakin intens. Gerakan mahasiswa, yang awalnya berfokus pada isu ekonomi, dengan cepat berevolusi menjadi tuntutan reformasi total dan pengunduran diri Soeharto.

Api Mei yang Membakar Jakarta: Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Massal

Proyek Kejar Tayang Kopdes Merah Putih dan PP Era Jokowi Dibatalkan Mahkamah Agung

Puncak ketegangan terjadi pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti—Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie—tewas tertembak peluru tajam oleh aparat keamanan saat demonstrasi damai. Peristiwa tragis ini menjadi pemicu utama kerusuhan massal yang meletus keesokan harinya, 13-15 Mei 1998, di Jakarta dan meluas ke kota-kota besar lainnya seperti Medan, Palembang, dan Surakarta.

Kerusuhan ditandai dengan penjarahan, pembakaran, dan perusakan masif terhadap toko, swalayan, pusat perbelanjaan, dan properti, terutama yang dimiliki etnis Tionghoa. Di Surakarta, massa bahkan meneriakkan sentimen rasial seperti “bakar cina” dan “jarah cina”.

Salah satu aspek paling kelam adalah kekerasan seksual massal terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat 78 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 perkosaan. Tim Relawan untuk Kemanusiaan Mei ’98 melaporkan 168-189 korban perkosaan yang dapat diverifikasi. Laporan investigatif Tempo juga menyajikan kesaksian brutal korban, termasuk penyiksaan dengan benda tajam. Komnas HAM secara resmi mengonfirmasi bahwa pemerkosaan termasuk dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Secara keseluruhan, kerusuhan ini mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal. Pembakaran Plaza Sentral Klender di Jakarta Timur saja menewaskan setidaknya 288-488 orang. Kerugian material mencapai lebih dari Rp3,1 triliun.

Jejak Prabowo: Dari Penculikan hingga Kontroversi

Mengungkap Tabir Kecurangan Beras Premium: Ancaman Tersembunyi di Balik Piring Nasi Kita

Nama Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Komandan Jenderal Kopassus (1997-1998) dan Panglima Kostrad (1998), tak terpisahkan dari tragedi ini. Ia secara luas dituding bertanggung jawab atas serangkaian penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi. Tim Mawar, unit rahasia Kopassus, diduga kuat menjadi dalang di balik penculikan ini, dengan tugas mendeteksi kelompok radikal. Arsip diplomatik AS bahkan mengindikasikan bahwa penculikan diperintahkan oleh Prabowo, yang disebut mengikuti perintah Soeharto. Selain Tim Mawar, ada juga laporan mengenai “Tim Garda Muda” dan “Tim Pendukung” yang terlibat dalam operasi serupa.

Prabowo diberhentikan dengan hormat dari dinas militer berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 21 Agustus 1998. DKP, yang dibentuk oleh Panglima ABRI Wiranto dan beranggotakan perwira tinggi termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyimpulkan Prabowo bersalah dan terbukti melakukan penyimpangan, termasuk penculikan aktivis. Wiranto secara eksplisit menyatakan Prabowo “terbukti terlibat dalam kasus penculikan”.

Menariknya, Prabowo sendiri secara terbuka mengakui pernah “memburu” dan “mengejar-ngejar” aktivis seperti Budiman Sudjatmiko dan Andi Arief atas perintah.2 Budiman Sudjatmiko bahkan memaparkan bahwa Prabowo mengaku telah memulangkan seluruh aktivis yang diculik olehnya, namun tidak mengetahui mengapa 13 orang lainnya masih hilang. Dari 23 aktivis yang diculik, sembilan di antaranya dibebaskan, satu ditemukan tewas, dan 13 lainnya masih hilang hingga kini.

Meskipun ada pengakuan parsial dan putusan DKP, Prabowo belum pernah diadili di pengadilan sipil. Mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, menyatakan bahwa Komnas HAM menempatkan Prabowo sebagai saksi, bukan pelaku, dan bahwa tanggung jawab komando ada pada Wiranto. Namun, aktivis seperti Petrus dan Lilik Hastuti tetap menuntut pertanggungjawaban Prabowo sebagai komandan Kopassus.

Pertarungan Narasi: Ketika Sejarah Ingin Ditulis Ulang

K Fitness Perkuat Eksistensi di Semarang: Cabang Hasanudin Resmi Dibuka dengan Inovasi dan Layanan Kelas Dunia

Di era pemerintahan saat ini, wacana penulisan ulang sejarah Indonesia modern, termasuk bagian pelanggaran HAM berat, semakin menguat. Upaya ini sering disebut sebagai pendekatan “optimistik” atau “mempositifkan” sejarah. Komisi X DPR bahkan meminta Tragedi Mei 1998 tetap dimasukkan dalam penulisan ulang sejarah nasional, dengan tujuan mempersatukan bangsa dan mengurangi bias kolonial. Namun, banyak pihak khawatir sejarah akan ditulis ulang berdasarkan keinginan pemerintah, bukan fakta objektif, dan berpotensi “memutihkan” dosa-dosa pemimpin terdahulu.

Pernyataan kontroversial dari pejabat publik menjadi indikasi kuat upaya revisi ini. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, seorang loyalis Prabowo, secara terbuka menyatakan bahwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanyalah “rumor” yang butuh bukti akurat. Pernyataan ini menuai kecaman keras dari Komnas Perempuan, organisasi masyarakat sipil, dan warganet. Komnas HAM secara tegas menyatakan bahwa pemerkosaan termasuk dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Tak hanya itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra sempat menyatakan peristiwa kekerasan 1998 tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat, meskipun kemudian diklarifikasi. KontraS menilai pernyataan Yusril, meskipun diralat, sebagai upaya negara “memutihkan” kasus pelanggaran HAM berat dan bentuk penyangkalan terorganisir.

Di tengah upaya ini, lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, KontraS, dan media independen menjadi benteng penjaga kebenaran. Komnas HAM telah menyimpulkan adanya bukti cukup atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kerusuhan Mei 1998. KontraS, yang didirikan sebagai respons terhadap kekerasan politik menjelang akhir Orde Baru, terus mendesak penyelesaian kasus HAM berat dan mengkritik upaya “pemutihan” sejarah. Media independen seperti Tempo juga memainkan peran krusial dengan laporan investigasi mendalam yang menyajikan kesaksian korban.

Motivasi politik di balik upaya penulisan ulang sejarah ini sangat jelas. Isu HAM selalu mengiringi Prabowo menjelang Pilpres, dan ia sendiri mengakui ini sebagai risiko yang harus dihadapi seorang prajurit. Upaya “pemutihan” ini bertujuan membersihkan namanya dari beban masa lalu terkait pelanggaran HAM berat.36 Dinamika kekuasaan juga terlihat dari fakta bahwa Wiranto dan SBY, yang dulu berperan dalam pemecatan Prabowo, kini berada dalam koalisi politiknya. Ini mencerminkan narasi bahwa “sejarah adalah milik pemenang,” di mana pihak yang berkuasa memiliki kemampuan untuk membentuk dan menginterpretasikan masa lalu sesuai kepentingannya.

Implikasi: Keadilan yang Terkubur dan Memori yang Terancam

Upaya revisi sejarah ini memiliki dampak yang sangat merusak bagi para korban dan proses pencarian keadilan. Penyangkalan kebenaran menyebabkan re-traumatisasi dan mendelegitimasi penderitaan mereka, membuat luka yang belum sembuh terancam dikubur paksa.

Selain itu, hal ini melanggengkan impunitas bagi para pelaku. Sebagian besar kasus pelanggaran HAM berat 1998 belum terselesaikan secara hukum. Meskipun Komnas HAM telah menyimpulkan adanya bukti kejahatan terhadap kemanusiaan, berkas penyidikan seringkali dikembalikan oleh kejaksaan. Janji penyelesaian HAM berat dalam Nawacita pemerintahan Jokowi pun belum terpenuhi, dengan tidak ada kasus yang berhasil dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc.

Bagi memori kolektif bangsa, revisi sejarah berisiko menciptakan amnesia sejarah bagi generasi muda. Mereka mungkin tidak akan pernah tahu betapa represifnya Orde Baru, kejamnya militerisme saat itu, atau seberapa parah pelanggaran HAM yang terjadi. Sejarah yang jujur berfungsi sebagai cermin bagi suatu bangsa, memungkinkan pembelajaran dari kesalahan masa lalu dan menjadi benteng bagi demokrasi.

Pertemuan antara korban penculikan dengan pihak Prabowo yang disertai pemberian “tali asih” finansial juga menuai kritik dari Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) sebagai bentuk “manipulatif, transaksional, pragmatis, dan oportunistik” yang bertujuan membungkam korban di luar jalur hukum formal.

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Pilihan antara penuntasan yudisial yang menuntut akuntabilitas penuh dan jalur non-yudisial (rekonsiliasi) yang berpotensi mengorbankan keadilan akan menentukan masa depan penegakan HAM. Tanpa pengakuan penuh atas kebenaran, akuntabilitas bagi para pelaku, dan pemulihan bagi para korban, luka sejarah ini akan terus menghantui bangsa, mengancam integritas memori kolektif dan masa depan demokrasi Indonesia. Perlawanan terhadap lupa adalah bentuk kesetiaan terhadap kemanusiaan dan kebenaran.