Jakarta, Cakarwala – Dunia menahan napas setelah parlemen Iran menyetujui langkah untuk menutup Selat Hormuz, jalur air vital yang menjadi urat nadi energi global, menyusul serangan militer langsung Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran pada Sabtu, 22 Juni 2025. Eskalasi dramatis ini, yang disebut “Operasi Midnight Hammer” oleh Pentagon, telah memicu kekhawatiran akan guncangan ekonomi global dan potensi konflik yang lebih luas di Timur Tengah.
Serangan AS, yang melibatkan pembom siluman B-2 dan rudal Tomahawk, menargetkan tiga fasilitas nuklir utama Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan. Ini menandai keterlibatan militer langsung AS yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam konflik yang meningkat antara Iran dan Israel, yang telah berlangsung sejak 13 Juni 2025. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengutuk serangan AS sebagai “keterlaluan,” “pelanggaran serius hukum internasional,” dan “perang berbahaya,” sementara Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) memperingatkan “respons yang disesalkan.”
Selat Hormuz: Urat Nadi Energi Dunia di Ambang Krisis
Selat Hormuz, jalur air sempit yang terletak antara Oman dan Iran, adalah satu-satunya penghubung maritim antara Teluk Persia dan Laut Arab yang lebih luas. Pada titik tersempitnya, Selat ini hanya selebar 21 mil, dengan dua jalur pelayaran terpisah selebar 2 mil untuk lalu lintas masuk dan keluar, menjadikannya “titik hambatan” minyak terpenting di dunia.
Pada tahun 2024, sekitar 20 juta barel minyak per hari, atau sekitar 20% dari total konsumsi cairan minyak bumi global, melewati Selat ini. Selain itu, sekitar seperlima dari perdagangan gas alam cair (LNG) dunia juga melintas di sini, sebagian besar dari Qatar yang sangat bergantung pada jalur ini.
Kekhawatiran utama adalah kelangkaan rute alternatif yang layak. Meskipun Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki pipa yang dapat melewati Selat, kapasitas gabungan mereka hanya sekitar 2,6 juta barel per hari, jauh di bawah volume yang biasanya melewati Selat. Iran sendiri memiliki pipa Goreh-Jask, namun kapasitasnya terbatas sekitar 300.000 barel per hari dan belum dimanfaatkan secara konsisten.
Tujuan Strategis Iran: Pembalasan, Pencegahan, dan Konsolidasi Domestik
Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz adalah strategi komunikasi politik yang kompleks. Tujuan utamanya adalah pembalasan langsung atas serangan AS dan Israel yang sedang berlangsung. Ini berfungsi sebagai pencegah yang kuat terhadap agresi militer lebih lanjut, memberi sinyal bahwa Iran memiliki “banyak pilihan untuk menanggapi musuhnya” dan bersedia untuk meningkatkan eskalasi.
Secara internal, ancaman ini juga berfungsi sebagai taktik pengalihan, mengalihkan perhatian publik dari keluhan domestik dan kesulitan ekonomi menuju ancaman eksternal yang dirasakan. Ini bertujuan untuk menumbuhkan efek “rally around the flag,” mengonsolidasikan kekuasaan di sekitar rezim dengan menggambarkannya sebagai pembela kedaulatan nasional yang tegas.
Mengakui kerugian militer konvensionalnya, Iran mengandalkan strategi perang asimetris di Selat Hormuz. Ini termasuk penggunaan ranjau laut yang murah dan mudah disebarkan, rudal jelajah anti-kapal, kapal kecil dalam taktik “swarming”, drone seperti seri Shahed, dan pengacau GPS yang dapat menciptakan “kabut digital” yang membahayakan navigasi maritim.
Dampak Global yang Mengkhawatirkan
Penutupan Selat Hormuz akan memicu guncangan ekonomi global yang signifikan. Para analis memprediksi harga minyak dapat melonjak hingga $100-$150+ per barel, bahkan sekadar ancaman penutupan telah menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan harga energi ini akan memicu inflasi yang lebih luas, memengaruhi sektor manufaktur, makanan, dan barang-barang lainnya, berpotensi mendorong ekonomi global ke dalam resesi. Biaya pengiriman dan premi asuransi juga diperkirakan akan melonjak, dilaporkan naik sekitar 60%.
Pasar Asia, termasuk Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan, akan menjadi yang paling rentan, karena menerima 84% minyak mentah dan 83% LNG yang melewati Selat. Tiongkok sendiri sangat bergantung pada Hormuz untuk hampir setengah dari impor minyak mentahnya. Eropa juga akan sangat terpengaruh karena ketergantungan yang meningkat pada diesel Timur Tengah pasca-Rusia.
Meskipun Amerika Serikat kurang bergantung secara langsung pada impor energi dari wilayah tersebut (hanya 7% dari total impor minyak AS berasal dari Teluk melalui Hormuz) AS tetap akan menghadapi konsekuensi ekonomi dan geopolitik tidak langsung yang substansial dari kenaikan harga global dan ketidakstabilan yang lebih luas. Harga bensin di AS berpotensi melonjak hingga $5-$7 per galon. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyebut penutupan Selat sebagai “langkah bunuh diri” bagi Iran, memperingatkan bahwa “seluruh dunia akan menentang mereka jika mereka melakukan itu,” dan mendesak Tiongkok untuk membujuk Iran agar tidak menutup Selat.
Respons Internasional dan Dilema Iran
Komunitas internasional, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, berkomitmen kuat untuk menjunjung tinggi prinsip kebebasan navigasi di Selat Hormuz. Armada ke-5 AS yang berbasis di Bahrain siap untuk menanggapi setiap blokade berkelanjutan. Pejabat militer AS menyatakan keyakinan mereka dalam kemampuan untuk membersihkan ranjau jika diperlukan.
Secara historis, Iran telah mengancam untuk menutup Selat Hormuz lebih dari 10 kali sejak tahun 2000, seringkali sebagai alat tawar-menawar strategis. Bahkan selama “Perang Tanker” yang intensif selama Perang Iran-Irak (1980-1988), Selat tidak pernah sepenuhnya diblokir, meskipun pengiriman terganggu.
Ironisnya, penutupan penuh dan berkelanjutan akan menimbulkan kerugian ekonomi parah pada Iran sendiri. Hampir semua terminal ekspor minyak Iran berada di dalam Teluk Persia, membuat Selat Hormuz menjadi jalur kehidupan yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan ekonomi negara itu. Sekitar 80% perdagangan kargo Iran juga melewati pelabuhan yang bergantung pada Selat Hormuz.
Situasi saat ini menyoroti kerapuhan sistemik dalam infrastruktur energi dan perdagangan global, di mana satu titik kegagalan yang terbatas secara geografis memiliki potensi untuk memicu tekanan ekonomi dan kekacauan pasar di seluruh dunia. Seruan mendesak untuk de-eskalasi diplomatik kini bergema di seluruh dunia.