Kesehatan
Home » Jutaan Warga Terancam Kehilangan Akses BPJS, Konstitusi Dipertanyakan

Jutaan Warga Terancam Kehilangan Akses BPJS, Konstitusi Dipertanyakan

JAKARTA, Cakrawala – Sebuah gelombang kekhawatiran menyapu jutaan keluarga di seluruh Indonesia. Sejak Mei 2025, pintu akses mereka terhadap layanan kesehatan vital melalui BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) tiba-tiba tertutup. Sebanyak 7.397.277 jiwa, yang sebelumnya iurannya ditanggung pemerintah, kini mendapati status kepesertaan mereka dinonaktifkan. Kebijakan ini, yang berlandaskan Surat Keputusan Menteri Sosial (SK Mensos) Nomor 80 Tahun 2025, memicu pertanyaan serius tentang hak konstitusional warga negara atas kesehatan.

Pergeseran Data dan Dampak Nyata

Pangkal masalahnya terletak pada pergeseran fundamental dalam basis data penerima bantuan sosial. SK Mensos 80/2025, yang juga didukung oleh Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), kini menjadi landasan utama. Ini berarti, mereka yang tidak tercatat dalam DTSEN secara otomatis dicoret dari daftar PBI JKN, menggantikan sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang lama.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf, atau Gus Ipul, menjelaskan bahwa penonaktifan ini bertujuan untuk memastikan bantuan tepat sasaran, dengan asumsi bahwa jutaan peserta yang dicoret “tidak terdaftar di DTSEN dan sudah dianggap sejahtera”. Namun, realitas di lapangan jauh dari asumsi tersebut.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, 57.343 peserta PBI JKN diminta untuk diverifikasi ulang. Dinas Sosial DIY menyuarakan kekhawatiran, “Kalau seseorang tidak masuk dalam DTSEN, otomatis dikeluarkan dari kepesertaan. Padahal bisa saja masih layak, tapi tidak terdata. Atau sebaliknya”. Situasi serupa terjadi di Kabupaten Temanggung dengan sekitar 20.000 warga terdampak, Kabupaten Majalengka (43.137 warga), Kabupaten Gunungkidul (>18.000 warga), dan bahkan lebih dari 1 juta peserta di Jawa Tengah. Angka-angka ini menunjukkan skala masalah yang masif, di mana jutaan orang yang mungkin masih membutuhkan, kini terancam kehilangan akses kesehatan.

Proyek Kejar Tayang Kopdes Merah Putih dan PP Era Jokowi Dibatalkan Mahkamah Agung

Hak Konstitusional yang Terancam

Kebijakan ini sontak memicu perdebatan sengit mengenai konstitusionalitasnya. Undang-Undang Dasar 1945, sebagai hukum tertinggi negara, secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas kesehatan. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Lebih lanjut, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Amanat konstitusional ini kemudian diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, UUD 1945 berada di puncak, diikuti oleh Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan seterusnya. Surat Keputusan Menteri, seperti SK Mensos 80/2025, berada di posisi yang lebih rendah. Prinsip hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori menegaskan bahwa aturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan aturan yang lebih rendah jika terjadi konflik norma.

Para ahli hukum konstitusi berpendapat bahwa konstitusionalisme menghendaki pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin hak asasi manusia. Jika kebijakan pencoretan massal ini, meskipun didasari tujuan administratif, secara de facto menghalangi akses jutaan warga terhadap hak kesehatan mereka, maka ini berpotensi melanggar prinsip konstitusionalisme dan dapat dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang. “Apabila terjadi abai terhadap hak atas kesehatan masyarakat dalam bentuk pengingkaran terkait perlindungan serta penyediaan pelayanan kesehatan dalam masyarakat yang layak merupakan pelanggaran terhadap konstitusi,” demikian salah satu pandangan yang relevan.

Suara Kritik dan Jalan ke Depan

Mengungkap Tabir Kecurangan Beras Premium: Ancaman Tersembunyi di Balik Piring Nasi Kita

Ombudsman RI telah menyoroti peningkatan pengaduan terkait pelayanan BPJS Kesehatan dan mengidentifikasi potensi maladministrasi serta diskriminasi. Mereka menegaskan, “Semua masyarakat harus terlindungi. Tidak hanya pekerja formal, tetapi juga masyarakat miskin dan pekerja informal juga harus dapat jaminan”. Kritik ini menguatkan kekhawatiran bahwa kebijakan pencoretan massal dapat memperburuk masalah yang sudah ada.

Meskipun pemerintah menyediakan prosedur reaktivasi bagi peserta yang dinonaktifkan—dengan melapor ke Dinas Sosial setempat, verifikasi, dan pengaktifan kembali oleh BPJS Kesehatan jika memenuhi syarat—proses ini berpotensi menjadi hambatan birokrasi yang signifikan bagi masyarakat rentan. Keterbatasan akses informasi, pendidikan, atau kemampuan navigasi sistem digital dapat membuat hak de jure mereka sulit terealisasi secara de facto.

Situasi ini menyoroti ketegangan antara efisiensi data dan keadilan sosial. Pertanyaan besar kini menggantung: apakah upaya pemerintah untuk memutakhirkan data akan mengorbankan hak dasar jutaan warganya? Jalan ke depan mungkin melibatkan evaluasi menyeluruh terhadap DTSEN, penyederhanaan prosedur reaktivasi, serta pengawasan ketat dari lembaga legislatif dan yudikatif. Pihak yang merasa dirugikan memiliki opsi untuk mengajukan pengujian hukum terhadap SK Mensos ini ke Mahkamah Agung, sebagai upaya terakhir untuk menegakkan hak konstitusional mereka.

Masa depan jaminan kesehatan bagi jutaan warga Indonesia kini berada di persimpangan jalan, menanti keseimbangan antara ketepatan data dan pemenuhan amanat konstitusi.

K Fitness Perkuat Eksistensi di Semarang: Cabang Hasanudin Resmi Dibuka dengan Inovasi dan Layanan Kelas Dunia