JAKARTA (Cakrawala) – Kalangan buruh mengkritisi pernyataan Prabowo Subianto yang menyebut dirinya sebagai ‘Presiden Buruh’.
Perwakilan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Sunarno mengemukakan klaim Prabowo tersebut belum terbukti secara nyata.
Sunarno yang juga Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) itu mengakui bahwa Prabowo memang presiden rakyat Indonesia karena faktanya terpilih dalam Pemilu.
“Tapi kalau (Prabowo) mengklaim dirinya sebagai ‘Presiden Buruh’ itu harus dibuktikan dulu. Jangan hanya berhenti di pencitraan atau gimmick,” tegas Sunarno dalam aksi Hari Buruh di depan Gedung DPR RI, 1 Mei 2025.
Pada acara peringatan May Day di Monas, Kamis 1 Mei 2025, Presiden Prabowo menyampaikan terima kasih kepada buruh yang selalu mendukungnya dalam setiap pemilihan presiden.
Prabowo pada kesempatan tersebut juga menyebut dirinya sebagai “presiden buruh, petani, nelayan dan orang yang susah”, serta berjanji menghapus kemiskinan dan memastikan anak-anak Indonesia tidak lagi kelaparan.
Namun, menurut Sunarno, janji-janji manis dalam pidato Presiden Prabowo itu tidak cukup untuk membuktikan keberpihakannya kepada buruh.
Sunarno menyoroti berbagai persoalan terkini yang masih membelit kaum buruh, mulai dari PHK massal, rendahnya upah, hingga lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja informal dan sektor rentan.
Kondisi perburuhan yang demikian itu, lanjutnya, membuktikan masih minimnya keberpihakan pemerintah terhadap buruh.
Bahkan, katanya. Perayaan May Day 2025 di Monas cenderung menjadi acara seremonial yang mendekatkan buruh pada kekuasaan tanpa sikap kritis.
Seperti diketahui, Perayaan May Day 2025 dihadiri oleh banyak pejabat tinggi. selain Presiden Prabowo dan Ketua DPR RI Puan Maharani, nampak juga hadir sejumlah menteri Kabinet Merah Putih.
Kehadiran Prabowo di peringatan May Day disebut-sebut menjadi peristiwa fenomenal karena sejak 60 tahun terakhir acara serupa tak dihadiri presiden.
‘”Seharusnya Perayaan May Day menjadi momentum refleksi dan perjuangan, bukan hanya seremonial,” tegas Sunarno.
Sunarno menjelaskan yang dibutuhkan buruh bukan janji-janji, tetapi keberpihakan pemerintah yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan.
Ia mengkritisi pendekatan pemerintah yang kerap membuat kebijakan tanpa melibatkan serikat buruh dalam proses perumusannya.
“Kalau keputusan dibuat sepihak, tanpa melibatkan serikat buruh dan kelompok rakyat lainnya, itu bahaya. Itu bukan demokrasi, itu otoriter,” ujarnya.
Menurutnya, janji-janji manis dalam pidato Presiden tidak cukup untuk membuktikan keberpihakan.
Ia menegaskan, buruh harus punya ruang untuk menyampaikan kritik dan harapan.
‘Kalau pemerintah serius mengklaim dirinya pro-buruh, maka buktikan lewat tindakan, bukan hanya pidato,” tukasnya. (Redaksi)