Gaya Hidup Opini
Home » Di Antara PHK dan Algoritma: Ketika Jurnalis Berubah Jadi Konten Kreator

Di Antara PHK dan Algoritma: Ketika Jurnalis Berubah Jadi Konten Kreator

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda industri media di Indonesia dalam dua tahun terakhir bukan hanya mengubah struktur redaksi, tapi juga mengubah lanskap produksi informasi secara mendalam. Ketika ratusan jurnalis kehilangan pekerjaannya, banyak dari mereka memilih jalan baru: menjadi konten kreator. Perpindahan ini tidak hanya menggeser platform, tapi juga membawa risiko baru, kebebasan baru, dan pertanyaan besar: apakah publik akan tetap mendapatkan informasi yang akurat?

PHK Jurnalis: Fenomena yang Menyebar

Narasi TV, Kompas TV, hingga CNBC Indonesia adalah beberapa contoh media besar yang mengurangi jumlah jurnalisnya. Penyebabnya beragam: pendapatan iklan yang anjlok, persaingan dari media sosial, hingga inefisiensi operasional. Namun satu benang merahnya jelas—media konvensional sulit bersaing di era algoritma.

Menurut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), setidaknya lebih dari 2.000 jurnalis terdampak PHK atau dirumahkan dalam dua tahun terakhir. Di tengah krisis ini, banyak dari mereka memutuskan untuk mandiri—menjadi konten kreator, membuka kanal YouTube, membuat podcast, atau menulis di platform digital tanpa redaksi.

Jurnalis dan Konten Kreator: Beda Platform, Beda Etika

Perpindahan dari jurnalis menjadi konten kreator terlihat mudah, tetapi keduanya berdiri di atas fondasi yang berbeda.

Jurnalis bekerja di bawah perlindungan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, terikat Kode Etik Jurnalistik, serta memiliki tanggung jawab pada kebenaran dan verifikasi. Sementara konten kreator—betapapun berkualitasnya—tidak memiliki kerangka hukum atau etika formal yang mengikat. Produksi konten didorong oleh engagement, bukan semata akurasi.

Pemerintah Siapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Percepat Program Pembangunan

Inilah yang membedakan. Jurnalis mencari fakta; konten kreator mencari perhatian. Dalam banyak kasus, keduanya bisa tumpang tindih, namun tidak selalu sejalan.

Risiko Hukum: Siapa yang Lebih Rentan?

Saat seorang jurnalis tersandung kasus hukum karena pemberitaannya, biasanya ada mekanisme penyelesaian melalui Dewan Pers. Ini menjadi jalur mediasi yang melindungi kerja jurnalistik selama dilakukan sesuai prosedur.

Namun bagi konten kreator, tidak ada perlindungan seperti itu. Mereka langsung berhadapan dengan pasal-pasal pidana umum, seperti UU ITE atau KUHP. Beberapa kasus belakangan ini menunjukkan bagaimana konten kreator bisa terjerat hukum karena dianggap menyebar hoaks, ujaran kebencian, atau pencemaran nama baik.

Sementara itu, platform digital seperti YouTube atau TikTok memiliki aturan sendiri yang bisa sewaktu-waktu memutus sumber penghasilan kreator tanpa proses transparan.

Algoritma Menggantikan Redaktur

Salah satu perbedaan mendasar lainnya adalah pengawasan. Di ruang redaksi, setiap berita melewati meja redaktur, editor, dan terkadang ombudsman. Tapi di dunia konten kreator, pengawasnya adalah algoritma. Yang tidak disukai sistem—konten sensitif, terlalu rumit, atau tak cukup menarik—akan dikubur dalam feed. Yang sensasional dan memancing emosi—akan diangkat.

Komitmen Pembahasan RUU Perampasan Aset: Sebuah Janji yang Berulang

Inilah tantangan baru para mantan jurnalis yang kini menjadi kreator. Apakah mereka tetap bisa menjaga standar informasi, atau akan tergoda mengikuti selera pasar?

Apakah Ini Transformasi atau Kemunduran?

Beberapa jurnalis yang kini menjadi konten kreator memang berhasil membangun kanal independen dengan tetap mengusung semangat jurnalistik. Mereka melakukan verifikasi, menyajikan informasi berbasis data, bahkan tetap meneliti isu publik yang serius. Namun jumlahnya masih kalah jauh dibanding kreator yang hanya mengejar viralitas.

Di sisi lain, publik kini semakin kesulitan membedakan mana informasi yang bisa dipercaya, mana yang hanya konten sensasional.

Menjawab Tantangan Masa Depan

Kita sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, media konvensional tengah berjuang mempertahankan eksistensi. Di sisi lain, kreator independen menjadi arus baru dalam ekosistem informasi. Tapi pertanyaan utamanya bukan tentang platform—melainkan tentang kualitas dan integritas informasi.

Pemerintah, platform digital, organisasi profesi, dan masyarakat sipil perlu duduk bersama. Diperlukan:

RUU Perampasan Aset Dikebut, Dana Pemerintah Dipindah ke Bank BUMN, dan Korban Banjir Bali 14 Orang

  • Regulasi yang adil dan melindungi kebebasan berekspresi sekaligus menekan penyebaran informasi palsu.
  • Pendidikan literasi media untuk publik agar bisa menilai sumber informasi secara kritis.
  • Skema perlindungan baru untuk kreator konten yang menjalankan fungsi jurnalistik.

Jika tidak, kita bisa kehilangan dua hal sekaligus: lapangan kerja bagi jurnalis, dan akses publik pada informasi yang benar.

Redaksi Cakrawala percaya bahwa masa depan informasi bukan hanya soal siapa yang memegang kamera atau akun, tapi siapa yang tetap memegang kompas etik di tengah derasnya arus konten.