Mode Pilihan redaksi
Home » Anna Wintour: Pergeseran Kekuatan di Takhta Vogue, Dari Editor Ikonik Menuju Arsitek Global

Anna Wintour: Pergeseran Kekuatan di Takhta Vogue, Dari Editor Ikonik Menuju Arsitek Global

Akhir Sebuah Era, Awal Sebuah Babak Baru (Foto:Anna-Wintour_Vogue-College-of-Fashion)

New York, Cakrawala – Dunia mode global baru-baru ini diguncang oleh sebuah pengumuman yang menandai berakhirnya satu era, namun sekaligus membuka babak baru bagi salah satu tokoh paling berpengaruh di industri ini. Anna Wintour, ikon mode berusia 75 tahun yang telah memimpin Vogue Amerika Serikat selama 37 tahun, mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Pemimpin Redaksi majalah tersebut. Berita ini, yang disampaikan dalam pertemuan staf pada 25 Juni 2025, dengan cepat menyebar dan menjadi viral di berbagai platform media sosial, memicu gelombang spekulasi dan analisis tentang masa depan Vogue dan lanskap mode secara keseluruhan. Pergeseran ini dianggap sebagai momen penting yang akan membentuk arah industri di tahun-tahun mendatang.

Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa pengumuman ini bukanlah penanda pensiun bagi Wintour. Meskipun headline awal mungkin mengesankan bahwa ia sepenuhnya mundur dari dunia mode, Wintour sendiri telah dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk berhenti bekerja. Sebaliknya, ia akan mempertahankan kendali editorial yang signifikan dan memperluas fokusnya pada peran globalnya di Condé Nast, perusahaan indukVogue. Ia akan tetap menjabat sebagai Chief Content Officer global untuk Condé Nast dan Global Editorial DirectorVogue, posisi yang memberinya pengaruh luas atas seluruh portofolio merek Condé Nast di seluruh dunia, dengan pengecualian The New Yorker.

Pergeseran peran ini dapat dipandang sebagai sebuah evolusi strategis yang kompleks, bukan sekadar pengunduran diri yang dipaksakan. Meskipun narasi publik yang disampaikan Condé Nast menekankan keinginan Wintour untuk fokus pada bimbingan generasi baru dan strategi global, ada laporan dari kalangan internal yang mengindikasikan bahwa keputusan ini mungkin juga dipengaruhi oleh tekanan eksternal dan internal. Kritikan keras terhadap penanganan Met Gala 2025 yang dipimpinnya, serta desakan untuk meningkatkan keberagaman, disebut-sebut sebagai faktor yang berkontribusi. Pergeseran ini memungkinkan Condé Nast untuk beradaptasi dengan tuntutan industri yang terus berubah dan pengawasan publik, memanfaatkan pengaruh besar Wintour untuk mengarahkan strategi global sambil membuka ruang bagi visi yang lebih segar di pasar AS. Dengan demikian, perusahaan ini memposisikan perubahan ini sebagai langkah maju yang proaktif, sekaligus merespons kritik dan kebutuhan akan perspektif baru.

Babak Baru di Condé Nast: Fokus Global dan Restrukturisasi Strategis

Pengumuman Anna Wintour pada Juni 2025 untuk mundur dari posisi Pemimpin Redaksi Vogue Amerika Serikat, yang telah dipegangnya sejak tahun 1988, merupakan bagian integral dari restrukturisasi global yang lebih besar di Condé Nast. Restrukturisasi ini sebenarnya telah dimulai pada tahun 2021, dengan tujuan menyatukan tim editorial global di bawah satu payung. Sebagai bagian dari model baru ini,Vogue AS akan mencari “Head of Editorial Content” baru. Sosok ini akan bertanggung jawab atas operasional harian majalah dan akan melaporkan langsung kepada Wintour, memastikan kesinambungan visi editorial.

Meskipun Wintour tidak lagi terlibat dalam operasional harian Vogue AS, pengaruhnya di Condé Nast justru semakin meluas. Ia akan tetap memegang posisi kunci sebagai Global Editorial Director Vogue dan Chief Content Officer Condé Nast. Dalam kapasitas ini, ia mengawasi hampir semua merek Condé Nast secara global, termasuk publikasi terkemuka sepertiWired, Vanity Fair, GQ, Architectural Digest, Condé Nast Traveler, Glamour, Bon Appétit, Tatler, World of Interiors, Allure, dan banyak lagi, dengan pengecualian The New Yorker. Pergeseran tanggung jawab ini memberinya “waktu dan fleksibilitas yang lebih besar untuk mendukung pasar global lainnya yang dilayani Condé Nast,” memungkinkan fokus yang lebih strategis pada ekspansi dan inovasi di tingkat internasional.

Proyek Kejar Tayang Kopdes Merah Putih dan PP Era Jokowi Dibatalkan Mahkamah Agung

Transisi peran Wintour ini mencerminkan pergeseran strategis Condé Nast menuju kepemimpinan editorial yang lebih terdesentralisasi. Model baru ini menggantikan peran Pemimpin Redaksi tradisional dengan “Head of Editorial Content” untuk setiap edisi global Vogue, mendelegasikan otonomi operasional kepada tim lokal sambil mempertahankan pengawasan Wintour sebagai Direktur Editorial Global dan Chief Content Officer. Pendekatan ini dirancang untuk menyeimbangkan pelestarian warisan merek yang kuat dengan kebutuhan untuk memanfaatkan peluang di pasar berkembang dan menjangkau audiens yang lebih muda. Data menunjukkan pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 22% dalam pendapatan internasional Condé Nast selama lima tahun terakhir, yang didorong oleh peningkatan langganan, iklan digital, dan kemitraan strategis dengan merek-merek mewah.

Struktur ganda ini merupakan strategi yang canggih untuk menavigasi kompleksitas lanskap media global modern. Di satu sisi, ini memungkinkan Vogue untuk menjadi lebih lincah dan responsif terhadap tren lokal yang beragam dan kebiasaan konsumsi digital, seperti popularitas video pendek di Tiongkok atau pertumbuhan pasar mewah di Timur Tengah. Responsivitas lokal ini sangat penting untuk menarik dan melibatkan audiens Gen Z dan milenial. Di sisi lain, pengawasan global yang berkelanjutan dari Wintour berfungsi sebagai “penjaga” terhadap potensi “dilusi merek” dan memastikan “kualitas editorial yang konsisten” di seluruh dunia. Ini berartiVogue dapat bereksperimen dan melokalisasi konten tanpa kehilangan DNA aspirasional dan prestise globalnya. Peran Wintour dalam struktur ini menegaskan bahwa meskipun konten perlu relevan secara lokal, identitas merek Vogue harus tetap terpadu dan kuat di seluruh dunia, sebuah bukti pengaruhnya yang tak lekang oleh waktu sebagai penentu selera dan kualitas. Strategi ini memposisikan Vogue sebagai merek warisan dan kekuatan media modern yang adaptif. Sebagai bagian dari peran barunya, Anna Wintour akan terus menjadi Ketua Bersama Met Gala dan mengawasiVogue World. Ia juga tetap menjadi anggota Komite Seleksi CFDA/Vogue Fashion Fund.

Warisan Sang Ratu Es: 37 Tahun Mengukir Sejarah Mode

Anna Wintour, putri Charles Vere Wintour, editor surat kabar terkemuka London Evening Standard, memulai perjalanan kariernya di dunia mode pada tahun 1970 sebagai asisten editorial di Harper’s & Queen. Setelah mengasah kemampuannya di berbagai posisi editorial di majalah-majalah New York, ia mengambil alih kepemimpinan British Vogue pada tahun 1986, diikuti oleh House & Garden pada tahun 1987, yang ia luncurkan kembali secara kontroversial di AS. Puncaknya datang pada tahun 1988, ketika ia ditunjuk sebagai Pemimpin RedaksiVogue Amerika Serikat. Langkah ini strategis, mengingatVogue menghadapi ancaman dari majalah-majalah baru yang lebih dinamis seperti Elle. Di bawah kepemimpinannya yang visioner,Vogue yang sebelumnya dianggap “staid” atau kaku, bertransformasi menjadi “kekuatan budaya global”, dikenal luas karena sampulnya yang selalu menjadi penentu tren dan dukungan karier yang menentukan bagi banyak talenta.

Wintour dikenal sebagai inovator editorial yang berani. Ia merevolusi sampul Vogue dengan mengakhiri era dominasi supermodel dan mulai menampilkan selebriti serta model yang kurang dikenal, sebuah langkah yang mengubah citra majalah secara fundamental. Sampul pertamanya pada November 1988 menjadi legenda: menampilkan model Michaela Bercu mengenakan jeans seharga $50 yang dipadukan dengan jaket Christian Lacroix seharga $10.000. Kombinasi “high-low fashion” ini mengejutkan industri dan “mematahkan semua aturan” yang ada. Ini adalah kali pertama jeans muncul di sampulVogue, menandai pergeseran signifikan menuju gaya yang lebih inklusif dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ia juga tidak ragu untuk menampilkan pria di sampul, seperti Richard Gere bersama Cindy Crawford pada tahun 1992. Filosofi penerbitannya, “Mass with class,” tercermin dari sampulVogue di bawahnya yang mulai menampilkan wanita-wanita terkemuka dari berbagai bidang, termasuk Nicole Kidman, Angelina Jolie, dan Hillary Clinton. Pada tahun 1993, Condé Nast juga meluncurkanTeen Vogue sebagai spin-off.

Peran Wintour tidak hanya terbatas pada editorial majalah; ia secara instrumental mendukung karier banyak profesional mode terkemuka. Ia mengamankan dukungan finansial yang krusial untuk rumah mode John Galliano, yang pada gilirannya membantu Galliano naik menjadi desainer utama di Christian Dior pada tahun 1997. Desainer lain seperti Alexander McQueen dan Marc Jacobs juga sangat diuntungkan dari patronasenya. Pada tahun 2003, bersama Council of Fashion Designers of America (CFDA), ia meluncurkan CFDA/Vogue Fashion Fund, sebuah inisiatif penting yang memberikan dukungan finansial dan mentoring bisnis kepada desainer Amerika yang sedang berkembang, membantu mereka membangun fondasi yang kokoh di industri yang kompetitif. Ia juga meluncurkan Fashion’s Night Out pada tahun 2009 sebagai proyek stimulus ekonomi yang bertujuan untuk mendorong belanja di industri mode.

Mengungkap Tabir Kecurangan Beras Premium: Ancaman Tersembunyi di Balik Piring Nasi Kita

Salah satu pencapaian paling monumental Wintour adalah transformasinya terhadap Met Gala. Sejak mengambil alih sebagai ketua pada tahun 1995, ia mengubah Met Gala dari acara sosial lokal New York menjadi “acara mode global” dan “penggalangan dana terbesar di dunia”. Ia memiliki kendali kreatif yang hampir mutlak atas pemilihan tema dan daftar tamu, menjadikannya “malam terbesar mode” yang sangat dinantikan. Acara ini telah berhasil mengumpulkan jutaan dolar untuk Costume Institute of the Metropolitan Museum of Art, dengan acara tahun 2025 saja diperkirakan menghasilkan $31 juta. Sebagai pengakuan atas kontribusinya yang tak ternilai, ruang kostum yang didesain ulang di Met bahkan dinamai Anna Wintour Costume Center pada tahun 2014. Pada tahun 2013, Wintour juga diangkat sebagai Artistic Director di Condé Nast, dan pada tahun 2020, ia dinobatkan sebagai Global Chief Content Officer Condé Nast.

Pengaruh Wintour melampaui sekadar menjadi seorang editor majalah yang sukses; ia berfungsi sebagai arsitek ekosistem mode. Dengan mengubah arah editorial Vogue, ia tidak hanya melaporkan tren, tetapi juga secara aktif membentuk dan mendefinisikan apa yang dianggap “modis” dan dapat diakses oleh khalayak luas. Melalui dukungan finansial dan mentoring kepada desainer baru melalui inisiatif seperti CFDA/Vogue Fashion Fund, ia memastikan adanya aliran talenta dan kreativitas baru yang berkelanjutan dalam industri. Transformasinya terhadap Met Gala menciptakan platform global yang kuat untuk mode, mengubahnya menjadi acara filantropi dan budaya utama yang mendorong buzz industri dan pendanaan. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada konten majalah, tetapi juga pada pembentukan seluruh infrastruktur yang mendukung mode, mulai dari talenta kreatif hingga dukungan finansial dan persepsi publik. Ini menjadikan Wintour bukan hanya seorang editor, melainkan pendorong utama mesin ekonomi dan budaya industri mode.

Di Balik Kacamata Hitam: Citra Publik, Kontroversi, dan Pengakuan

Citra publik Anna Wintour tak terpisahkan dari kacamata hitam khasnya dan potongan rambut bob yang ikonik, yang telah menjadikannya sosok misterius dan berwibawa di mata dunia. Ia sering dijuluki “Ratu Es” atau “Nuclear Wintour” karena gaya kepemimpinannya yang tegas, menuntut kesempurnaan, dan terkadang dianggap kejam. Reputasi ini diperkuat oleh novel terlaris tahun 2003,The Devil Wears Prada, yang ditulis oleh mantan asistennya, Lauren Weisberger, dan kemudian diadaptasi menjadi film populer pada tahun 2006. Karakter Miranda Priestly dalam karya tersebut secara luas diyakini sebagai karikatur Wintour. Menariknya, alih-alih merusak citranya, buku dan film tersebut justru membuat Wintour semakin terkenal dan mengubahnya menjadi ikon budaya. Ia bahkan menunjukkan selera humornya dengan menghadiri pemutaran perdana film tersebut. Mengenai kacamata hitamnya, ia pernah menyatakan bahwa “mereka membantu saya melihat dan mereka membantu saya untuk tidak melihat”.

Sepanjang kariernya yang panjang, Wintour juga tidak luput dari berbagai kontroversi yang menguji kepemimpinannya dan memicu perdebatan di industri mode. Pada tahun 1990-an, di tengah maraknya gerakan anti-bulu oleh organisasi hak-hak hewan seperti PETA, Wintour tetap teguh pada kecintaannya terhadap bulu. Hal ini memicu protes, bahkan pernah ada insiden di mana PETA melemparkan rakun mati ke piringnya saat ia sedang makan. Pada April 2008, sampulVogue yang menampilkan legenda bola basket LeBron James bersama model Gisele Bündchen memicu tuduhan stereotip rasial, karena James digambarkan dalam pose yang menyerupai King Kong. Empat tahun kemudian, pada April 2014, keputusannya untuk menampilkan pasangan sensasional Kim Kardashian dan Kanye West di sampulVogue menuai kritik luas, meskipun Wintour tetap pada pendiriannya, dengan alasan bahwa keduanya memiliki relevansi budaya yang signifikan.

Pada tahun 2020, di tengah meningkatnya ketegangan rasial setelah kematian George Floyd, Wintour mengeluarkan permintaan maaf yang langka kepada staf Vogue. Ia mengakui bahwa majalah tersebut telah gagal mempromosikan dan memberikan ruang yang cukup bagi editor, penulis, fotografer, desainer, dan kreator kulit hitam. Di tahun yang sama, André Leon Talley, kolaborator lama Wintour, menerbitkan memoar berjudulThe Chiffon Trenches yang mengungkap sisi kejam Wintour dan memberikan gambaran mendalam tentang apa yang terjadi di balik layar Vogue dan acara-acara mode terkait, termasuk Met Gala. Terakhir, meskipun Met Gala di bawah kepemimpinan Wintour telah menjadi acara ikonik, acara tahun 2025 menghadapi kritik keras. Sumber-sumber internal dan kritikus mode menyebut acara tersebut “tidak terinspirasi dan tidak relevan,” bahkan ada yang menyatakan bahwa gala tersebut telah kehilangan “daya tariknya”. Kritikan ini disebut-sebut sebagai salah satu pemicu tekanan internal yang berkontribusi pada keputusannya untuk mundur dari peran Pemimpin RedaksiVogue AS.

K Fitness Perkuat Eksistensi di Semarang: Cabang Hasanudin Resmi Dibuka dengan Inovasi dan Layanan Kelas Dunia

Meskipun citranya yang keras, Wintour telah menerima berbagai penghargaan dan pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa terhadap mode dan jurnalisme. Ia dianugerahi gelar Officer of the Order of the British Empire (OBE) pada tahun 2008, dan kemudian naik menjadi Dame Commander of the Order of the British Empire (DBE) pada tahun 2017. Pada Februari 2025, ia bahkan menerima penghargaan Companion of Honour dari Raja Charles III. Puncaknya, pada Juni 2025, ia dianugerahi Presidential Medal of Freedom oleh Presiden AS Joe Biden, sebuah pengakuan tertinggi bagi warga sipil di Amerika Serikat.

Masa Depan di Bawah Pengawasan Anna Wintour: Mentoring dan Inovasi Berkelanjutan

Meskipun telah melepaskan peran operasional hariannya di Vogue AS, Anna Wintour tetap menjadi kekuatan pendorong di balik salah satu acara mode paling bergengsi di dunia: Met Gala. Ia akan terus menjadi ketua bersama Met Gala 2025, yang sudah digelar pada 5 Mei 2025. Tema pameran Costume Institute tahun ini adalah “Superfine: Tailoring Black Style,” sebuah eksplorasi mendalam tentang pentingnya gaya sartorial dalam pembentukan identitas kulit hitam. Wintour akan memimpin acara tersebut bersama sejumlah tokoh terkemuka seperti Colman Domingo, Lewis Hamilton, A$AP Rocky, dan Pharrell Williams, dengan LeBron James sebagai ketua kehormatan. Kode busana untuk acara tersebut, “Tailored for You,” dirancang untuk memberikan panduan sekaligus mengundang interpretasi kreatif, mengacu pada fokus pameran pada suiting dan menswear. Keterlibatannya yang berkelanjutan dalam acara sebesar ini menegaskan pengaruhnya yang tak tergoyahkan dalam mengkurasi dan memimpin narasi budaya mode global.

Salah satu fokus utama Wintour dalam peran barunya adalah bimbingan dan pengembangan generasi editor dan desainer berikutnya. Ia telah menyatakan bahwa “kesenangan terbesarnya adalah membantu generasi editor yang bersemangat untuk menyerbu lapangan dengan ide-ide mereka sendiri, didukung oleh pandangan baru yang menarik tentang bagaimana perusahaan media besar dapat menjadi”. Ini menunjukkan pergeseran ke arah peran yang lebih berorientasi pada mentorship, di mana ia dapat memanfaatkan pengalaman dan jaringannya yang luas untuk membentuk talenta baru dalam industri. Peran ini sangat penting dalam konteks restrukturisasi Condé Nast, yang bertujuan untuk menumbuhkan visi yang lebih muda dan segar untukVogue Amerika. Wintour juga tetap menjadi anggota komite seleksi CFDA/Vogue Fashion Fund 2025, sebuah platform penting yang memberikan dukungan finansial dan bimbingan kepada desainer Amerika yang sedang berkembang.

Wintour memiliki pandangan yang jelas tentang evolusi media mode dan relevansinya di era digital. Ia percaya bahwa mode harus selalu bergerak maju, mencerminkan waktu, dan tidak boleh takut untuk berinovasi. Dalam era digital ini, ia menekankan pentingnya interaksi dan kemampuan untuk mengartikulasikan visi dan keyakinan seseorang. Perannya yang diperluas sebagai Chief Content Officer Global Condé Nast memungkinkannya untuk mengarahkan strategi konten di seluruh merek perusahaan, memastikan bahwa mereka tetap relevan dan menarik bagi audiens yang terus berkembang, termasuk Gen Z dan milenial. Condé Nast melihat ini sebagai “momen penting” yang memanfaatkan kemampuannya untuk “tetap terdepan dalam terhubung dengan audiens baru, sambil membina dan membimbing beberapa talenta paling cemerlang di industri saat ini”. Selain itu, ia juga akan terus mengawasiVogue World, sebuah acara mode dan budaya keliling yang dimulai majalah tersebut pada tahun 2022.

Ikon yang Terus Beradaptasi dan Membentuk Masa Depan

Anna Wintour telah mengukir warisan yang tak terhapuskan dalam sejarah mode dan media. Selama hampir empat dekade kepemimpinannya di Vogue Amerika Serikat, ia tidak hanya mengubah majalah tersebut menjadi sebuah kekuatan budaya global, tetapi juga secara fundamental membentuk arah industri mode secara keseluruhan. Dari inovasi editorial yang berani seperti menampilkan jeans di sampulVogue hingga transformasinya terhadap Met Gala menjadi acara penggalangan dana dan mode global yang tak tertandingi, pengaruhnya melampaui batas-batas editorial, menjadikan dirinya seorang arsitek ekosistem mode.

Pergeseran perannya dari Pemimpin Redaksi Vogue AS menjadi Chief Content Officer Global Condé Nast dan Global Editorial Director Vogue bukanlah tanda kemunduran, melainkan sebuah adaptasi strategis yang cerdas. Langkah ini memposisikan Wintour untuk terus mengarahkan visi global Condé Nast, memastikan konsistensi merek di tengah desentralisasi editorial, dan membimbing generasi baru talenta di era digital. Meskipun ada bisikan tentang tekanan internal dan kritik terhadap Met Gala 2025 yang mungkin memengaruhi keputusan ini, narasi yang lebih besar adalah tentang evolusi yang disengaja untuk menjaga relevansi dan pengaruh di pasar yang terus berubah.

Prospek masa depan Vogue dan industri mode di bawah pengaruh Wintour yang berkelanjutan tampak dinamis. Dengan fokusnya pada mentorship dan inovasi digital, ia berupaya memastikan bahwa Vogue tetap menjadi suara yang relevan dan berwibawa bagi audiens global yang semakin beragam. Kemampuannya untuk menyeimbangkan pelestarian warisan merek dengan dorongan untuk eksperimen dan adaptasi digital akan menjadi kunci keberhasilan Condé Nast di tahun-tahun mendatang. Anna Wintour tetap menjadi ikon yang tak tertandingi, terus membentuk dan menginspirasi dunia mode dari posisinya yang strategis di puncak hirarki media global.