Papua Barat Daya, Cakrawala – Raja Ampat, permata ekologis Indonesia yang diakui dunia sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dan geopark global, kini menjadi arena pertempuran narasi yang sengit. Pernyataan pejabat daerah yang mengklaim dukungan masyarakat untuk kelanjutan tambang nikel berhadapan langsung dengan protes keras dari berbagai elemen masyarakat sipil dan bukti kerusakan lingkungan yang tak terbantahkan. Di balik polemik ini, terkuak indikasi kuat adanya tekanan dari pemerintah pusat dan kepentingan politik yang berupaya menguatkan operasi penambangan, khususnya oleh anak perusahaan Antam.
Narasi Resmi: Kesejahteraan atau Ketergantungan?
Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, dan Bupati Raja Ampat, Orideko Iriano Burdam, secara konsisten menyatakan bahwa masyarakat di Pulau Gag, lokasi utama penambangan nikel, secara eksplisit meminta agar tambang tidak ditutup. Mereka bahkan menggambarkan warga “menangis dan memohon” agar operasi tambang PT Gag Nikel, anak perusahaan Antam, dapat terus berjalan, dengan alasan bahwa penutupan akan “membuat rakyat susah” karena mata pencarian mereka bergantung pada tambang tersebut.
Gubernur Kambu juga membantah laporan kerusakan lingkungan, menyebutnya “hoax” dan menegaskan bahwa laut di sekitar Pulau Gag tetap biru dan kaya ikan. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, setelah kunjungan langsung, turut mengklaim operasi tambang “tidak bermasalah” dan memenuhi standar lingkungan.
Narasi ini menyoroti segmen masyarakat yang merasakan manfaat ekonomi langsung dari tambang, seperti nelayan yang menjual hasil tangkapannya kepada perusahaan. Bagi mereka, kebutuhan ekonomi mendesak mungkin mengalahkan kekhawatiran lingkungan jangka panjang.
Suara Masyarakat yang Berbeda: Kerusakan dan Ketidakadilan
Namun, klaim dukungan masyarakat ini dibantah keras oleh koalisi luas yang terdiri dari mahasiswa Papua (seperti Himpunan Mahasiswa Papua Sukabumi dan GEMASABA Papua Barat Daya), organisasi masyarakat sipil (WALHI Papua), LSM lingkungan (Greenpeace Indonesia), dan kelompok adat. Mereka telah melakukan berbagai bentuk protes, termasuk demonstrasi di Bandara Sorong yang menyambut Menteri Bahlil dengan teriakan “Bahlil Penipu”, serta kampanye media sosial dengan tagar #SaveRajaAmpat.
Kelompok-kelompok ini menyajikan bukti kerusakan lingkungan yang signifikan:
Deforestasi dan Sedimentasi: Analisis Greenpeace menunjukkan lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami telah hancur di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Aliran tanah dari penggalian menyebabkan kekeruhan dan sedimentasi di perairan pesisir, mengancam terumbu karang yang rapuh.
Pencemaran Air: Kolam pengendapan di PT Anugerah Surya Pratama (ASP) di Pulau Manuran dilaporkan jebol, menyebabkan pencemaran serius.
Pelanggaran Hukum: Aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil seperti Gag, Manuran, dan Batang Pele secara eksplisit dilarang oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga memperkuat larangan ini, menyatakan kerusakan yang ditimbulkan “tidak dapat dipulihkan”.
Selain itu, para aktivis menyoroti minimnya manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal, dengan kompensasi yang dilaporkan hanya Rp10 juta per tahun dan sebagian besar tenaga kerja serta kontraktor didatangkan dari luar daerah. Penambangan juga dianggap mengancam kearifan lokal “Sasi” yang melarang eksploitasi sumber daya berlebihan, serta mengabaikan hak-hak adat dan proses Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan.
Kepentingan Pusat dan Konflik Antar-Kementerian
PT Gag Nikel, perusahaan yang paling disorot, adalah anak perusahaan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Status ini menempatkan pemerintah pusat sebagai pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam kelanjutan operasinya.Terlihat jelas adanya “beda suara pemerintah” antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sementara ESDM cenderung meremehkan dampak lingkungan dan menekankan legalitas izin, KLHK justru mengambil tindakan tegas. KLHK telah menyegel empat perusahaan tambang (PT ASP, PT KSM, PT MRP, dan meninjau izin PT Gag Nikel) karena dugaan kerusakan lingkungan dan pelanggaran, bahkan berencana menindaklanjuti melalui jalur hukum pidana dan perdata.
Kebijakan hilirisasi nikel nasional, yang didorong oleh pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan memenuhi permintaan global (terutama untuk baterai kendaraan listrik), menciptakan insentif ekonomi yang kuat untuk kelanjutan penambangan. Sentralisasi kewenangan izin penambangan ke pemerintah pusat melalui UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 juga mengurangi peran pemerintah daerah, memindahkan tanggung jawab atas kerusakan lingkungan ke Jakarta.
Dugaan adanya “jenderal kuat” atau jaringan elit yang membekingi aktivitas tambang ilegal semakin memperkuat persepsi adanya pengaruh politik yang mendalam.
Raja Ampat di Persimpangan
Polemik di Raja Ampat adalah cerminan dari konflik fundamental antara pembangunan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan lingkungan serta hak-hak adat jangka panjang. “Suara masyarakat” yang dikutip oleh pejabat daerah mungkin hanya mewakili segmen yang secara langsung diuntungkan, sementara suara mayoritas yang menuntut perlindungan alam dan keadilan seringkali terpinggirkan.
Kontradiksi antara undang-undang nasional yang melarang penambangan di pulau-pulau kecil dengan peraturan daerah yang mengizinkan, ditambah dengan izin-izin lama yang masih berlaku, menciptakan celah hukum yang dimanfaatkan untuk melanjutkan operasi tambang. Konflik kepentingan yang melekat, di mana pemerintah bertindak sebagai regulator sekaligus pemilik entitas penambangan (melalui BUMN), mempersulit penegakan hukum yang objektif dan akuntabel.
Masa depan Raja Ampat, sebagai “surga terakhir di Bumi” dan aset pariwisata dunia, kini berada di persimpangan jalan. Keputusan yang diambil akan menentukan apakah kekayaan alam dan budaya yang tak ternilai ini akan dikorbankan demi keuntungan ekonomi sesaat, ataukah akan dilindungi untuk generasi mendatang.