Politik
Home » Fadil Imran di Pusaran Kritik: Jabatan Ganda dan Tata Kelola

Fadil Imran di Pusaran Kritik: Jabatan Ganda dan Tata Kelola

Komjen Fadil Imran saat peluncuran Tim Patroli Perintis Presisi se-Indonesia di Mapolda Metro Jaya

Jakarta, Cakrawala – Baru-baru ini publik dikejutkan temuan bahwa Komjen Pol Fadil Imran – yang dikenal sebagai Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri – tiba-tiba tercantum pula sebagai komisaris BUMN MIND ID (holding industri pertambangan). Nama Fadil muncul dalam susunan komisaris hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) MIND ID 10-11 Juni 2025, bersama sejumlah tokoh sipil dan militer. Padahal, sehari sebelumnya Fadil sempat dikabarkan sebagai calon kuat Kapolri menggantikan Listyo Sigit Prabowo.

Kini ia malah menapak ke dunia BUMN. Kejutan lain: sejak Agustus 2024 Fadil juga resmi menjabat Ketua Umum PBSI periode 2024–2028. Media mencatat ia “rangkap 3 jabatan sekaligus” – aktif sebagai Komjen Polri (Kabaharkam), pucuk PBSI, dan komisaris MIND ID. Profil singkatnya menunjukkan perjalanan karier yang cemerlang: lulusan Akpol 1991 ini pernah menjadi Kapolda Metro Jaya (2020–2023) sebelum dipercaya pangkat bintang tiga. Namun kini rangkap jabatan bergengsi itu menimbulkan kontroversi baru.

Temuan rangkap jabatan Fadil Imran langsung menimbulkan reaksi politik. Komisi III DPR – yang membidangi hukum dan keamanan – menyatakan telah mengkaji kasus ini. Ketua Komisi III Habiburokhman menegaskan bahwa penunjukan Fadil Imran di BUMN berpotensi melanggar hukum. Ia menunjuk Undang-Undang Polri (UU No.2/2002) Pasal 28 ayat (3) yang “secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri tidak boleh merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta”. Pengecualian hanya untuk tugas pendidikan atau penelitian dengan izin Kapolri.

Sama halnya, UU Layanan Publik Pasal 17 melarang pejabat publik melakukan rangkap jabatan. Habiburokhman mengingatkan bahwa praktik ganda semacam ini rawan menciptakan konflik kepentingan dan mencederai profesionalitas Polri. Ia mengingatkan ranah etika kenegaraan: “Rangkap jabatan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengganggu profesionalitas institusi kepolisian, serta bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)”. Himbauan DPR (termasuk Ketua DPR Puan Maharani) meminta pemerintah meninjau ulang pengangkatan tersebut, karena penunjukan tanpa pertimbangan aturan berpotensi menimbulkan isu hukum dan etik.

Hingga kini Polri merespons dengan hati-hati. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho hanya menjawab singkat: “Nanti kami cek dulu” terkait jabatan rangkap Komjen Fadil Imran. Pernyataan “kami cek dengan aturannya nanti” mengindikasikan bahwa Kepolisian akan memverifikasi kembali kepatuhan keputusan tersebut terhadap perundang-undangan. Sandi berjanji menelusuri aturan yang ada sebelum memberi keterangan definitif.

Kematian dr. Marwan al-Sultan: Tragedi di Tengah Deru Bom dan Derita Gaza

Dalam konferensi pers terpisah, Kabaharkam Fadil Imran sendiri tak banyak bicara selain menegaskan komitmen netralitas Polri. Dalam rapat DPR November 2023, Fadil berkali-kali menekankan bahwa netralitas sudah “tertanam sejak pendidikan” polisi dan tertulis dalam kode etik kepolisian. Ia mengatakan isu netralitas sudah dijaga melalui petunjuk telegram Kapolri menjelang Pemilu 2024. Namun, ia berjanji akan mempertimbangkan kembali masukan Komisi III agar posisi ganda tak menimbulkan polemik. Hingga tulisan ini dibuat, Kabaharkam sendiri tetap aktif menjalankan tugas keamanan nasional sambil dipantau penyelidikan intern.

Kasus ini memicu diskusi luas tentang tata kelola pemerintahan dan netralitas lembaga keamanan negara. Menurut para pengamat good governance, posisi sipil-polisi dalam BUMN harus dicegah karena dapat mengguncang akuntabilitas lembaga. Sebagaimana dikemukakan Habiburokhman, pejabat publik mesti menghindari penugasan bersifat bisnis demi menghindari benturan peran.

Anggota masyarakat mempertanyakan bagaimana seorang perwira tinggi Polri bisa leluasa berkiprah di ranah komersial tanpa ada konflik kepentingan. Jika setuju rangkap jabatan, publik bertanya apakah etika profesional kepolisian telah direvisi. Di sinilah perhatian mengarah pada dua konsep kunci: integritas Polri dan citra independensi institusi negara.

Ketika Polri dipandang ikut mengawasi keamanan sambil memegang kursi komisaris perusahaan tambang negara, keraguan muncul: sejauh mana polisi bisa benar-benar netral dalam penegakan hukum dan politik? Keadaan ini juga menambah tekanan publik terhadap penegakan etika birokrasi – suatu ujian keseriusan pemerintah dan Polri dalam menerapkan mekanisme pengawasan jabatan ganda.

Akhirnya, kisah Fadil Imran ini membuka babak baru perdebatan tentang pengawasan internal dan eksternal lembaga negara. Apapun hasil pemeriksaan selanjutnya, kasus jabatan rangkap oleh seorang pejabat tinggi Polri telah membangkitkan kesadaran publik: tata kelola negara dan profesionalisme aparat harus dijaga bersama. Pertanyaan-pertanyaan tentang rekam jejak, akuntabilitas, dan batas peran institusi kini bergema dalam wacana publik, menuntut transparansi penuh dari Polri maupun pemerintah.

KMP Tunu Pratama Jaya Tenggelam di Selat Bali, 4 Tewas dan Puluhan Masih Hilang