Jakarta, Cakrawala – Sebuah bayangan kelam kini menyelimuti program digitalisasi pendidikan yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim (2019-2024). Proyek ambisius untuk melengkapi unit-unit pendidikan dengan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ini, yang bertujuan mendukung pembelajaran digital di seluruh pelosok negeri, kini justru menjadi sorotan tajam Kejaksaan Agung (Kejagung) atas dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook.
Proyek pengadaan laptop berbasis Chrome OS ini, yang dilaksanakan antara tahun 2020 hingga 2022, melibatkan anggaran yang sangat besar, mencapai total sekitar Rp 9,9 triliun. Dana tersebut berasal dari dua sumber utama: sekitar Rp 3,58 triliun dari Dana Satuan Pendidikan (DSP) dan sekitar Rp 6,399 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Nadiem Makarim sendiri pernah menekankan urgensi pengadaan laptop ini sebagai upaya vital meningkatkan kualitas pendidikan di tengah tantangan pandemi COVID-19.
Namun, di balik ambisi mulia itu, Kejaksaan Agung secara resmi menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan pada 20 Mei 2025, setelah menemukan indikasi “pemufakatan jahat” dalam penyusunan kajian pengadaan perangkat teknologi. Investigasi ini bukanlah tanpa pemicu. Sejak tahun 2021, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia telah vokal menyuarakan kekhawatiran atas kejanggalan dalam pengadaan ini, bahkan mendesak penundaan atau pengkajian ulang proyek di tengah pandemi. Mereka berargumen bahwa pengadaan massal bukanlah prioritas dan berpotensi menyimpang, terutama karena seharusnya didasarkan pada proposal dari bawah (bottom-up) sesuai kebutuhan riil daerah. Tekanan berkelanjutan dari masyarakat sipil inilah yang menjadi pendorong utama bagi Kejagung untuk bertindak.
Kasus ini, dengan dugaan manipulasi spesifikasi, pembatasan kompetisi, dan kurangnya transparansi, sangat sejalan dengan pola kerentanan pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah diidentifikasi oleh pakar dan dikonfirmasi oleh temuan ICW. ICW mencatat bahwa pengadaan barang/jasa adalah aktivitas pemerintah yang paling rentan terhadap korupsi, seringkali bersandar pada kapasitas birokrat untuk melakukan korupsi administratif. Pemantauan ICW terhadap kasus korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari tahun 2016 hingga 2021 menunjukkan adanya 119 kasus korupsi yang disidik aparat penegak hukum, mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 47,9 triliun. Ironisnya, korupsi di lingkungan BUMN tidak mereda selama pandemi COVID-19; bahkan, kerugian negara terbesar akibat korupsi terjadi pada tahun 2020 dan 2021.
Kronologi Penyidikan dan Langkah-langkah Kejaksaan Agung
Dugaan kejanggalan dalam pengadaan laptop ini telah terendus oleh ICW dan KOPEL Indonesia sejak tahun 2021, yang secara aktif mendesak Kemendikbudristek untuk menghentikan atau setidaknya mengkaji ulang rencana pengadaan ini. Tindak lanjut resmi dari aparat penegak hukum baru muncul pada Mei 2025, ketika Kejaksaan Agung secara resmi menaikkan status perkara dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook ini dari tahap penyelidikan menjadi tahap penyidikan pada 20 Mei 2025.
Sebagai bagian dari penyidikan, Kejagung telah melakukan serangkaian tindakan proaktif. Puluhan saksi, setidaknya 28 orang, telah dimintai keterangan untuk mengumpulkan informasi dan bukti terkait kasus ini. Selain itu, tim penyidik juga melakukan penggeledahan di beberapa lokasi yang diduga terkait dengan kasus tersebut, termasuk apartemen dan rumah tiga mantan staf khusus Menteri Nadiem Makarim: Jurist Tan, Fiona Handayani (yang apartemennya digerebek pada 21 Mei 2025), dan Ibrahim Arif (yang rumahnya digerebek pada 2 Juni 2025). Dari penggeledahan ini, sejumlah barang bukti elektronik vital seperti ponsel, laptop, dan hard drive berhasil disita dan kini sedang dalam proses analisis.
Ketiga mantan staf khusus tersebut sempat mangkir dari panggilan pemeriksaan awal oleh Kejagung. Akibatnya, mereka kemudian dikenakan pencekalan untuk bepergian ke luar negeri, yang berlaku sejak 4 Juni 2025. Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, juga telah menjalani pemeriksaan oleh Kejagung pada 23 Juni 2025. Nadiem menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama penuh dengan aparat penegak hukum dan secara tegas membantah adanya toleransi terhadap praktik korupsi dalam bentuk apapun di bawah kepemimpinannya.
Hingga laporan ini disusun, Kejaksaan Agung belum secara resmi menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook ini. Spekulasi yang beredar di masyarakat mengenai Nadiem Makarim masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) telah dibantah tegas oleh Kejagung. Penyidikan masih berada dalam tahap umum, yang berarti fokus utama penyidik adalah pada pengumpulan bukti-bukti yang lebih kuat dan pendalaman keterlibatan berbagai pihak yang diduga terkait.
Modus Operandi dan Kejanggalan Pengadaan
Kejagung telah menemukan indikasi kuat adanya “pemufakatan jahat” atau konspirasi dalam proses penyusunan kajian pengadaan peralatan TIK, khususnya yang mengarah pada pemilihan laptop berbasis Chrome OS. Kejanggalan utama terletak pada pengabaian hasil kajian teknis awal. Sebuah uji coba yang dilakukan pada tahun 2019 terhadap 1.000 unit Chromebook menyimpulkan bahwa perangkat tersebut tidak efektif untuk mendukung proses pembelajaran, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan jaringan internet. Namun, rekomendasi awal ini diduga kuat diubah, dan kajian baru yang disusun kemudian justru mengunggulkan Chromebook, seolah-olah menciptakan kebutuhan yang tidak ada sebelumnya. Tanda tangan Menteri Nadiem Makarim pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 5 Tahun 2021, yang secara eksplisit menetapkan spesifikasi Chrome OS, menjadi titik krusial dalam rantai kausalitas ini, mengikat dugaan konspirasi dengan kebijakan resmi.
Salah satu argumen utama yang mengemuka adalah bahwa Chromebook berfungsi optimal dan menunjukkan kinerja terbaik dengan koneksi internet yang stabil dan berkelanjutan. Namun, realitas infrastruktur internet di Indonesia, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), masih jauh dari merata dan seringkali tidak memadai. Nadiem Makarim sendiri dalam pembelaannya membantah bahwa pengadaan ini ditujukan untuk daerah 3T, melainkan untuk sekolah-sekolah yang sudah memiliki kesiapan infrastruktur internet. Namun, klaim ini berhadapan dengan kritik dari ICW dan KOPEL yang menyoroti bahwa alokasi DAK seharusnya bersifat bottom-up (berdasarkan kebutuhan daerah) dan bahwa distribusi laptop tidak transparan serta tidak jelas tujuannya.
Penentuan spesifikasi yang sangat ketat, termasuk persyaratan sistem operasi Chrome OS dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tertentu, diduga telah secara signifikan membatasi kompetisi bisnis dalam pengadaan ini. Akibatnya, hanya segelintir perusahaan yang dapat menjadi penyedia, yang diidentifikasi sebagai 6 vendor: PT Zyrexindo Mandiri Buana (Zyrex), PT Supertone, PT Evercoss Technology Indonesia, Acer Manufacturing Indonesia (Acer), PT Tera Data Indonesia (Axio), dan PT Bangga Teknologi Indonesia (Advan). Praktik pembatasan kompetisi ini dianggap bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Salah satu kejanggalan signifikan yang ditemukan adalah tidak tercatatnya rencana pengadaan laptop Chromebook ini dalam aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Akibatnya, informasi mengenai proses pengadaan, yang seharusnya dapat diakses publik, tidak diketahui secara luas. Penyidikan awal oleh Kejagung juga telah menemukan indikasi adanya perbedaan harga yang mencolok, di mana harga unit Chromebook yang tercantum dalam kontrak diduga jauh melebihi estimasi harga pasar yang wajar. ICW lebih lanjut menduga bahwa kejanggalan ini dapat mengarah pada berbagai modus korupsi lain, termasuk mark-up harga yang disengaja, penerimaan kickback atau imbalan tidak sah dari penyedia, serta potensi pungutan liar dalam proses distribusi barang ke sekolah-sekolah penerima.
Pihak-pihak yang Diduga Terlibat dan Peran Mereka
Tiga mantan staf khusus Menteri Nadiem Makarim—yakni Fiona Handayani, Jurist Tan, dan Ibrahim Arif—telah menjadi fokus pemeriksaan oleh Kejagung. Apartemen dan rumah mereka telah digeledah sebagai bagian dari upaya pengumpulan bukti. Berdasarkan dokumen yang ditemukan, mereka diduga memiliki peran dalam kasus ini. Namun, ICW meragukan bahwa keterlibatan hanya terbatas pada staf khusus, mengingat staf khusus tidak memiliki kewenangan langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu, peran mereka perlu didalami lebih lanjut untuk mengetahui siapa yang memberikan perintah atau pesan yang mengarahkan tindakan mereka.
Dalam konteks pengadaan melalui sistem e-purchasing dengan nilai di atas Rp200 juta, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memegang peran sentral dalam seluruh tahapan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. PPK bertanggung jawab penuh kepada Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ditunjuk. Mengingat struktur ini, ICW secara tegas mendesak Kejaksaan Agung untuk tidak hanya berfokus pada staf khusus, tetapi juga memeriksa PPK, KPA, serta Nadiem Makarim sendiri sebagai menteri dan pengguna anggaran tertinggi pada saat itu. Kejagung telah menyatakan komitmennya untuk menyelidiki semua pihak yang memiliki peran dominan di balik proyek ini, termasuk kemungkinan keterlibatan pimpinan Kemendikbudristek saat itu.
Kejaksaan Agung juga telah berhasil mengidentifikasi sekitar 5 hingga 6 vendor penyedia laptop Chromebook yang terlibat dalam proyek ini. Selain itu, Kejagung juga membuka peluang untuk memanggil perwakilan dari Google. Pemanggilan ini bertujuan untuk mendalami lebih lanjut proses pengadaan sistem Chromebook, mengingat perangkat lunak tersebut adalah produk Google dan ada indikasi penawaran langsung dari Google terkait sistem ini.
Dampak dan Potensi Kerugian Negara
Total anggaran yang dialokasikan untuk proyek pengadaan laptop Chromebook ini mencapai Rp 9,9 triliun. Kejaksaan Agung saat ini masih berkoordinasi intensif dengan ahli keuangan negara untuk melakukan penghitungan nilai pasti kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus ini. Dokumen-dokumen terkait telah diserahkan kepada ahli untuk analisis lebih lanjut. Meskipun nilai pasti kerugian belum dirilis secara resmi, Kejagung telah memastikan bahwa kerugian negara benar-benar terjadi dalam proyek pengadaan ini.
Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari dugaan korupsi ini adalah bahwa penggunaan Chromebook di sekolah-sekolah penerima jauh dari target yang diharapkan. Banyak unit laptop yang dilaporkan tidak terpakai atau kurang dimanfaatkan, seperti yang ditemukan dalam investigasi lapangan di beberapa sekolah di Jakarta. Akibatnya, ratusan miliar rupiah dari anggaran program digitalisasi pendidikan diduga tidak berkontribusi secara maksimal pada peningkatan kualitas belajar mengajar, yang merupakan tujuan inti dari program tersebut.
Insiden ini telah menimbulkan kekhawatiran yang luas di seluruh sektor pendidikan dan secara signifikan “mencoreng dunia pendidikan” di mata publik. Dana pendidikan yang seharusnya menjadi investasi krusial untuk masa depan siswa dan kualitas pendidikan nasional, diduga terbuang sia-sia atau diselewengkan. Hal ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan efektivitas program-program pendidikan di masa mendatang.
Tanggapan dan Reaksi dari Berbagai Pihak
Nadiem Makarim telah memberikan pernyataan publik yang menjelaskan bahwa pengadaan perangkat TIK merupakan bagian dari upaya mitigasi ancaman learning loss yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Ia mengklaim bahwa seluruh proses pengadaan telah dikonsultasikan secara menyeluruh dengan berbagai lembaga negara, termasuk Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), untuk memastikan akuntabilitas dan kepatuhan hukum. Nadiem juga membantah tuduhan mengubah kajian pengadaan laptop. Ia menjelaskan bahwa pemilihan Chromebook didasarkan pada pertimbangan efisiensi biaya (karena sistem operasi ChromeOS gratis), faktor keamanan (kemampuan mengontrol aplikasi yang dapat diakses), dan mengklaim bahwa 97% dari laptop yang diadakan telah berhasil diterima oleh sekolah-sekolah penerima.
ICW dan KOPEL Indonesia telah menjadi suara kritis sejak awal. Mereka telah menyuarakan peringatan dini sejak tahun 2021 mengenai pengadaan yang bukan prioritas di tengah pandemi. Kritik mereka mencakup dugaan penyalahgunaan DAK, ketiadaan transparansi dalam SiRUP, spesifikasi Chromebook yang tidak sesuai untuk daerah 3T, dan kekhawatiran monopoli bisnis akibat pembatasan kompetisi. Organisasi-organisasi ini secara konsisten menuntut investigasi menyeluruh terhadap semua pihak yang berwenang, termasuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan bahkan Menteri Nadiem Makarim sendiri, serta klarifikasi detail korupsi dan estimasi kerugian negara.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), yang menggantikan Kemendikbudristek, menyatakan penghormatan terhadap proses hukum yang sedang berjalan dan menegaskan kesiapan untuk bekerja sama. Mereka berharap proses penegakan hukum berjalan adil dan hasil distribusi laptop dapat diumumkan secara transparan kepada publik. Sementara itu, Kejaksaan Agung secara konsisten membantah laporan palsu mengenai status Nadiem Makarim sebagai DPO. Kejagung juga menegaskan komitmennya untuk menyelidiki semua pihak yang memiliki peran dominan dalam proyek ini, termasuk kemungkinan keterlibatan pimpinan Kemendikbudristek saat itu. Anggota DPR, Abdullah, menyerukan agar Kejagung memprioritaskan kasus ini, menyatakan bahwa kasus ini “mencoreng dunia pendidikan”. Publik secara luas menanti transparansi penuh dalam proses ini untuk memastikan pengawasan yang lebih baik terhadap anggaran pendidikan di masa mendatang.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Skandal pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun di Kemendikbudristek menyoroti masalah-masalah yang mengakar dalam tata kelola pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Dugaan “pemufakatan jahat” yang mengabaikan kajian teknis objektif, pemilihan spesifikasi yang tidak relevan dengan kondisi lapangan (terutama di daerah 3T), serta pembatasan kompetisi bisnis melalui persyaratan ketat, menunjukkan adanya manipulasi kebijakan yang disengaja. Ketiadaan transparansi dalam sistem informasi pengadaan publik (SiRUP) semakin memperkuat indikasi adanya upaya untuk menyembunyikan penyimpangan.
Kasus ini tidak hanya berpotensi menimbulkan kerugian finansial negara yang sangat besar, tetapi juga telah merusak kualitas pendidikan dan mengikis kepercayaan publik terhadap program digitalisasi pendidikan dan integritas pengelolaan dana negara. Kontradiksi antara klaim Nadiem Makarim mengenai proses pengadaan yang akuntabel dengan temuan awal Kejagung dan kritik masyarakat sipil menjadi inti dari narasi investigasi ini. Meskipun belum ada penetapan tersangka, langkah-langkah investigasi yang sistematis oleh Kejagung, termasuk pemeriksaan saksi dan penggeledahan, menunjukkan keseriusan dalam mengusut tuntas kasus ini. Potensi keterlibatan pihak-pihak berwenang di Kemendikbudristek serta vendor, bahkan perusahaan teknologi global seperti Google, mengindikasikan jaringan korupsi yang kompleks dan berlapis.
Untuk mencegah terulangnya insiden serupa dan memperkuat tata kelola pengadaan di sektor publik, beberapa rekomendasi mendesak perlu diimplementasikan. Pemerintah dan BUMN harus menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang lebih ketat, mencakup akuntabilitas, transparansi, kemandirian, dan keadilan di setiap tahapan pengadaan barang/jasa. Peningkatan pengawasan internal dan eksternal, termasuk pelibatan aktif masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sangat krusial untuk memastikan setiap rupiah memberikan manfaat yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Seluruh rencana pengadaan, termasuk detail teknis dan hasil evaluasi, harus dicatat dan dapat diakses publik melalui sistem informasi seperti SiRUP. Kejaksaan Agung harus terus mendalami keterlibatan semua pihak yang berwenang, dari PPK hingga pimpinan tertinggi, dan menelusuri aliran dana secara menyeluruh untuk memberikan efek jera yang maksimal. Pengadaan barang/jasa harus didasarkan pada kajian kebutuhan yang objektif dan bersifat
bottom-up, bukan manipulasi kajian untuk memaksakan suatu produk. Terakhir, penting untuk memastikan proses pengadaan terbuka bagi semua penyedia yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan sehat, menghindari praktik monopoli yang merugikan negara dan masyarakat. Keberhasilan dalam mengatasi korupsi ini akan berdampak langsung pada efisiensi ekonomi, peningkatan kepercayaan investor, dan penguatan peran pendidikan sebagai pilar utama pembangunan nasional.