Krimimal
Home » Cakrawala: Menguak Tabir Korupsi Pengadaan Mesin EDC BRI

Cakrawala: Menguak Tabir Korupsi Pengadaan Mesin EDC BRI

Jakarta, Cakrawala – Kabut tebal dugaan korupsi kini menyelimuti salah satu pilar perbankan nasional, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah secara resmi memulai penyidikan terhadap kasus pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) yang diduga terjadi pada periode 2023-2024. Kasus ini bukan sekadar angka-angka di atas kertas, melainkan sebuah sorotan tajam terhadap integritas tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memegang peranan vital dalam denyut nadi perekonomian Indonesia.

Penyelidikan KPK ini, yang dikonfirmasi oleh Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto, masih berada dalam tahap awal dengan menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum. Ini berarti proses pengumpulan bukti tengah berlangsung intensif, dan KPK belum menetapkan tersangka secara spesifik. Namun, langkah-langkah konkret telah diambil. Pada Kamis, 26 Juni 2025, mantan Wakil Direktur Utama BRI, Catur Budi Harto, dipanggil dan diperiksa oleh KPK. Ia terlihat hadir di Gedung Merah Putih KPK dan meninggalkan lokasi beberapa jam kemudian.

Tak hanya pemeriksaan saksi, KPK juga telah melakukan penggeledahan di dua lokasi krusial: Kantor BRI Pusat Sudirman dan di Gatot Subroto, Jakarta, pada tanggal yang sama. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan bahwa hasil penggeledahan tersebut belum dapat dirinci, menandakan bahwa barang bukti masih dalam tahap analisis.

Penyidikan ini semakin melebar, tidak hanya terbatas pada lingkungan internal BRI. KPK menduga bahwa kasus ini melibatkan oknum pejabat yang sudah tidak menjabat di BRI, mengindikasikan bahwa praktik korupsi mungkin terjadi saat mereka masih aktif dalam manajemen. Lebih jauh, penyidik juga mencurigai adanya keterlibatan lebih dari satu vendor penyedia mesin EDC dalam perkara ini. KPK berencana menelusuri peran serta aliran dana dari pihak-pihak eksternal tersebut, menunjukkan bahwa investigasi meluas ke jaringan yang lebih kompleks.

Kasus pengadaan mesin EDC ini kembali mengingatkan kita pada kerentanan sektor pengadaan barang dan jasa dalam tubuh pemerintahan dan BUMN. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pengadaan barang/jasa merupakan aktivitas pemerintah yang paling sering menjadi sasaran korupsi. Antara tahun 2019 hingga 2023, ribuan kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa telah menelan kerugian negara hingga Rp 47,18 triliun. Modus operandi korupsi seringkali terjadi pada tahap perencanaan, pemilihan, dan penyelesaian pembayaran, menunjukkan celah sistemik yang memungkinkan manipulasi.

Proyek Kejar Tayang Kopdes Merah Putih dan PP Era Jokowi Dibatalkan Mahkamah Agung

Menanggapi penyidikan ini, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk telah menyampaikan pernyataan resmi yang menegaskan penghormatan terhadap proses hukum. BRI menyatakan akan mematuhi regulasi pemerintah dan regulator, serta berkomitmen untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG). Manajemen BRI juga menyatakan dukungan penuh terhadap penegakan hukum dan kesediaan untuk bekerja sama dengan KPK, sembari menjamin bahwa operasional dan layanan BRI tidak akan terganggu.

Namun, ada insiden yang menarik perhatian publik. Corporate Secretary BRI, Agustya Hendy Bernadi, sempat memberikan pernyataan tertulis mengenai pemeriksaan Catur Budi Harto, namun kemudian menarik pernyataan tersebut, meminta agar informasi itu “di-hold”. Insiden ini menimbulkan pertanyaan tentang tingkat transparansi sebenarnya dari pihak BRI, meskipun tujuannya mungkin untuk menghindari kesalahan informasi atau dampak hukum yang tidak diinginkan.

Hingga saat ini, KPK belum merinci nilai kerugian negara akibat dugaan korupsi dalam pengadaan mesin EDC BRI. Perhitungan kerugian masih dalam tahap pendalaman, seiring dengan pemeriksaan para pihak dan analisis hasil penggeledahan . Kasus ini, sayangnya, bukan anomali. Analisis ICW menunjukkan bahwa lingkungan BUMN sangat rentan terhadap praktik korupsi. Dalam periode 2016-2021, setidaknya 119 kasus korupsi di BUMN telah disidik, dengan total kerugian negara mencapai Rp 47,9 triliun . Sektor finansial, khususnya perbankan, menjadi yang paling rawan, dengan BRI sendiri mencatat setidaknya 15 kasus korupsi dalam periode tersebut .

Meskipun BRI, melalui anak perusahaannya BRI Finance, telah mengimplementasikan kebijakan dan strategi anti-fraud yang komprehensif, termasuk sistem Whistleblowing System (WBS) yang dikelola secara transparan dan adil , kasus ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan di atas kertas dan realitas implementasi di lapangan. Para ahli dan temuan ICW mengindikasikan bahwa implementasi GCG di BUMN seringkali terkendala oleh budaya organisasi yang kurang mendukung, kelemahan pengawasan internal, keterbatasan sumber daya, intervensi politik, dan ketimpangan dalam penegakan hukum .

Kasus dugaan korupsi pengadaan mesin EDC di BRI ini harus menjadi momentum kritis bagi pemerintah dan BUMN untuk melakukan reformasi tata kelola yang mendalam dan berkelanjutan. Penguatan pengawasan internal dan eksternal, peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengadaan, peningkatan integritas dan profesionalisme sumber daya manusia, serta penegakan hukum yang tegas dan memberikan efek jera adalah langkah-langkah krusial yang harus diambil . Hanya dengan komitmen kuat dan tindakan nyata, kepercayaan publik dapat dipulihkan, dan BUMN dapat kembali berperan sebagai lokomotif pembangunan nasional yang bersih dan berintegritas.

Mengungkap Tabir Kecurangan Beras Premium: Ancaman Tersembunyi di Balik Piring Nasi Kita