Rembang, Cakrawala – Hembusan angin Laut Jawa yang biasanya membawa aroma garam ke bumi Rembang, kini terasa dingin dan membawa kecemasan. Sejak Minggu pagi, 1 Juni 2025, mesin-mesin raksasa di pabrik semen PT Semen Gresik, bagian dari konglomerat PT Semen Indonesia, di Kecamatan Gunem, terdiam membisu. Produksi yang menjadi denyut nadi perekonomian lokal itu telah berhenti total, bukan karena kerusakan teknis, melainkan karena sebidang jalan desa yang vital telah ditutup.
Inilah kisah yang membawa ribuan keluarga ke ambang ketidakpastian. Sekitar 1.500 karyawan, yang setiap hari menggantungkan hidup pada gilingan dan produksi semen, kini harus menelan pil pahit. Mereka dirumahkan, diliburkan, menunggu kabar yang tak kunjung pasti dari balik dinding manajemen yang masih bungkam.
Jalan Menuju Impasse: Kilas Balik Sengketa Berlarut
Krisis ini bukanlah ledakan tunggal, melainkan puncak dari bara sengketa yang telah lama menyala. Jalan akses yang kini menjadi inti masalah adalah jalur utama bagi truk-truk raksasa pengangkut hasil tambang dari perut bumi Rembang menuju pabrik pengolahan. Namun, bagi Pemerintah Desa Tegaldowo, jalur itu bukan sekadar jalan industri. Mereka mengklaimnya sebagai aset desa, bagian dari warisan turun-temurun yang tak boleh begitu saja dilepaskan.
Drama hukum pun dimulai pada September 2024. PT Semen Indonesia menyeret Pemerintah Desa Tegaldowo ke meja hijau PTUN Semarang. Mereka menggugat sembilan bidang tanah yang telah disertifikatkan hak pakai (SHP) atas nama desa. Klaim perusahaan: tanah itu adalah milik mereka. Klaim desa: tanah itu adalah jalan pertanian dan jalan desa, bagian tak terpisahkan dari kehidupan komunitas.
Ketegangan mencapai titik didih pada November 2024, ketika PTUN melakukan sidang lapangan di lokasi sengketa. Aroma perlawanan mulai tercium kuat dari Tegaldowo. Rencana Musyawarah Desa pun digulirkan, dengan satu opsi yang mengerikan bagi pabrik: blokade jalan.
Desember 2024, ancaman itu menjadi kenyataan. Warga dan pemerintah desa kompak menutup akses jalan. Argumentasi mereka kuat: ini adalah bentuk perjuangan mempertahankan aset desa dan menuntut pencabutan gugatan PT SI.
Namun, blokade itu tak bertahan lama. Aparat kepolisian turun tangan, membuka paksa jalan, demi kelangsungan operasional pabrik. Kepala Desa Kundari, dengan tatapan tajam, menegaskan bahwa penutupan itu akan kembali dilakukan jika gugatan tidak dicabut. Ia tak ingin melihat desanya diinjak-injak oleh kepentingan korporasi.
Puncak Krisis dan Harapan yang Menggantung
Peringatan Kundari menjadi kenyataan. Pada 1 Juni 2025, ia kembali menginstruksikan penutupan akses jalan utama. Meskipun ia bersikeras bahwa “tidak ditutup total” dan masih ada sisa lebar 3 meter untuk truk kecil, pihak pabrik menolak untuk berkompromi. Bagi mereka, akses itu tidak memadai untuk operasional masif. Akhirnya, keputusan pahit pun diambil: produksi dihentikan.
Kini, nasib 1.500 pekerja dan kelangsungan pabrik yang menjadi tulang punggung ekonomi Rembang utara menggantung di ujung tanduk. Ruangan Humas pabrik semen di Rembang hanya bisa menyarankan media untuk menunggu “rilis resmi dari manajemen perusahaan”. Sikap ini, meski dipahami sebagai bagian dari prosedur korporat, terasa membeku di tengah desakan kebutuhan ribuan keluarga.
PT Semen Indonesia sebelumnya menyatakan menghormati proses hukum. Namun, sengketa ini sudah sampai pada tingkat kasasi, level tertinggi dalam hierarki peradilan Indonesia, menandakan jalan panjang yang harus ditempuh untuk menemukan titik terang.
Kisah di Rembang ini adalah cerminan kompleksitas konflik antara investasi industri dan hak-hak komunitas lokal. Ia menyuguhkan potret pilu ribuan pekerja yang terperangkap di antara tarik ulur kepentingan besar. Mata publik kini tertuju pada Rembang, menanti bagaimana babak baru dari drama ini akan terkuak, dan apakah ada jalan tengah yang bisa mengembalikan denyut kehidupan ke pabrik semen, dan tentu saja, kepada ribuan keluarga yang menaruh harapan padanya.