JAKARTA, CAKRAWALA – Di balik popularitas “thrifting” yang digadang-gadang sebagai solusi fesyen berkelanjutan dan ekonomis, terkuak sisi gelap perdagangan pakaian bekas global yang menimbulkan dampak serius bagi lingkungan, ekonomi, sosial, dan kesehatan. Laporan terbaru menyoroti bagaimana industri ini, yang didorong oleh limbah fesyen dari negara-negara maju, menciptakan masalah baru di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sumber dan Aliran Pakaian Bekas Global
Pakaian bekas yang membanjiri pasar global sebagian besar berasal dari negara-negara maju seperti Uni Eropa, Tiongkok, dan Amerika Serikat, yang menjadi eksportir utama. Setiap tahun, industri fesyen menghasilkan 92 hingga 93 juta ton limbah tekstil global, dengan 85% di antaranya berakhir di tempat pembuangan sampah. Alih-alih didaur ulang di negara asalnya, sebagian besar limbah ini diekspor ke negara-negara berkembang.
Pakaian ini dikumpulkan dari berbagai sumber, mulai dari pengepul di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) khusus pakaian, pakaian baru yang “kadaluarsa” atau “reject” dari pabrik, hingga sumbangan amal. Setelah disortir dan dikemas dalam bal-bal besar (50-100 kg per bal), pakaian ini dikirim melalui kontainer kapal ke negara-negara importir seperti Ghana, Pakistan, India, Chile, dan Guatemala. Ironisnya, persentase signifikan dari pakaian yang diekspor ini seringkali tidak layak jual atau pakai (40% di Ghana, 75% di Chile), sehingga langsung berakhir di TPA negara pengimpor.
Dilema Etika Sumbangan Amal
Praktik penjualan kembali pakaian sumbangan amal juga menimbulkan pertanyaan etika. Meskipun beberapa organisasi amal secara transparan menjual donasi untuk mendanai program sosial mereka, terdapat pula skema penipuan “badan amal palsu” yang mengumpulkan donasi untuk keuntungan pribadi.
Fenomena “gentrifikasi thrifting” juga muncul, di mana peningkatan permintaan dari reseller dan pembeli yang lebih mampu menyebabkan kenaikan harga di toko barang bekas, mengurangi aksesibilitas bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada toko-toko ini.
Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Perdagangan pakaian bekas menyumbang pada krisis lingkungan yang parah. Limbah tekstil yang dibuang di TPA dapat membutuhkan waktu lebih dari 200 tahun untuk terurai, menghasilkan gas metana dan melarutkan bahan kimia beracun ke dalam air tanah. Pencemaran air dan tanah juga terjadi akibat pewarna pakaian, serat kain, dan mikroplastik yang membusuk.
Jejak karbon dari transportasi global pakaian bekas juga sangat besar, dengan industri fesyen secara keseluruhan menyumbang 10% dari total emisi karbon global, melebihi gabungan emisi penerbangan internasional dan pengiriman maritim.
Ancaman Sosial dan Ekonomi
Di Indonesia, maraknya impor pakaian bekas ilegal telah menjadi ancaman serius bagi industri tekstil dalam negeri dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pakaian bekas impor yang dijual sangat murah menciptakan persaingan harga tidak sehat, menggerus daya saing produk lokal, dan berpotensi menyebabkan kebangkrutan serta pengurangan lapangan kerja. Data BPS mencatat penurunan tenaga kerja di industri tekstil Indonesia dari 1,13 juta menjadi 1,08 juta pada Agustus 2022.
Selain itu, kondisi kerja di fasilitas penyortiran pakaian bekas, terutama di negara-negara berkembang, seringkali sangat rentan. Pekerja informal, yang banyak di antaranya adalah migran, perempuan, dan bahkan anak-anak, menghadapi upah rendah, kurangnya perlindungan sosial, dan kondisi berbahaya. Mereka berisiko mengalami luka fisik, paparan residu bahan kimia berbahaya (seperti pewarna, logam berat, formaldehida, PFAS), serta masalah pernapasan akibat debu serat dan mikroplastik.
Risiko Kesehatan Tersembunyi
Pakaian bekas juga membawa risiko kesehatan yang signifikan. Penelitian menemukan keberadaan bakteri seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, E. coli, serta virus, jamur, dan parasit (kutu, tungau) pada pakaian bekas. Patogen ini dapat menyebabkan infeksi kulit, reaksi alergi, hingga masalah pernapasan.
Selain itu, residu bahan kimia berbahaya dari proses produksi tekstil, seperti formaldehida, logam berat (timbal, kadmium), dan PFAS, dapat menembus kulit dan menyebabkan iritasi, alergi, bahkan risiko kanker dan gangguan hormon dalam jangka panjang.
Perdagangan Ilegal dan Tantangan Penegakan Hukum
Indonesia telah melarang impor pakaian bekas melalui Permendag No. 40 Tahun 2022 dan Permendag No. 18 Tahun 2021, dengan sanksi pidana hingga 5 tahun penjara dan/atau denda Rp5 miliar. Larangan ini bertujuan melindungi kesehatan, lingkungan, dan industri domestik.
Namun, penyelundupan masih marak melalui pelabuhan tidak resmi dan platform e-commerce. Volume impor ilegal kembali meningkat pasca-pandemi, mencapai 26,22 ton pada tahun 2022. Penegakan hukum yang efektif memerlukan sinergi kuat antaraparat dan pengawasan ketat.
Mendorong Perubahan Menuju Keberlanjutan Sejati.
Mengatasi “sisi gelap” perdagangan pakaian bekas memerlukan upaya kolektif. Pembuat kebijakan perlu memperkuat penegakan hukum, mendorong kerja sama internasional untuk standar global, dan mendukung ekonomi sirkular domestik melalui insentif daur ulang tekstil. Industri fesyen harus berinvestasi dalam desain berkelanjutan, transparansi rantai pasok, dan praktik ketenagakerjaan yang adil.
Sementara itu, konsumen didorong untuk mengadopsi konsumsi yang lebih sadar, selalu membersihkan pakaian bekas dengan benar, dan mendukung organisasi amal yang terverifikasi . Hanya dengan pendekatan komprehensif ini, perdagangan pakaian bekas dapat bertransformasi menjadi kekuatan yang benar-benar berkelanjutan dan etis.