Jakarta, Cakrawala – Penyanyi Vidi Aldiano kini tengah menghadapi gugatan perdata serius terkait dugaan pelanggaran hak cipta atas lagu ikonik “Nuansa Bening”. Gugatan ini dilayangkan oleh pencipta asli lagu tersebut, Keenan Nasution dan Rudi Pekerti, di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Kasus ini menyoroti kompleksitas hak kekayaan intelektual dalam industri musik Indonesia, terutama terkait penggunaan komersial karya tanpa izin yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Kronologi “Nuansa Bening”: Dari Remake hingga Gugatan Miliaran
Lagu “Nuansa Bening” pertama kali diciptakan oleh Keenan Nasution dan Rudi Pekerti pada tahun 1978, dan telah menjadi salah satu karya legendaris dalam sejarah musik Indonesia, bahkan sebelum Vidi Aldiano merilis versinya. Musisi seperti Fariz RM juga pernah mempopulerkan lagu ini, seperti dilansir oleh detikBali.
Pada tahun 2008, Vidi Aldiano merilis versi remake “Nuansa Bening” sebagai single utama dari album debutnya, “Pelangi di Malam Hari”. Versi ini sukses besar dan melambungkan nama Vidi di industri musik Tanah Air, seperti dilaporkan Kompas.com. Namun, menurut kuasa hukum Keenan dan Rudi, Minola Sebayang, Vidi Aldiano bukanlah artis pertama yang mempopulerkan lagu ini.
Inti permasalahan muncul dari dugaan penggunaan komersial lagu “Nuansa Bening” oleh Vidi Aldiano tanpa izin selama 16 tahun, terhitung sejak 2008 hingga 2024. Pihak penggugat mengklaim lagu tersebut telah dieksploitasi dalam lebih dari 300 pertunjukan langsung dan melalui teknologi digital baru, meskipun gugatan di pengadilan secara spesifik mencantumkan 31 pertunjukan sebagai bukti pelanggaran, seperti diberitakan Kompas.com dan detikBali.
Upaya mediasi telah dilakukan. Pada tahun 2024, manajemen Vidi Aldiano sempat menawarkan kompensasi awal sebesar Rp 50 juta kepada Keenan Nasution dan Rudi Pekerti. Tawaran ini ditolak, dan kemudian ditingkatkan menjadi “ratusan juta rupiah” dalam upaya mencapai kesepakatan damai, seperti diungkap detikBali dan Kompas.com. Namun, kedua tawaran tersebut ditolak oleh pihak pencipta karena dianggap tidak sebanding dengan durasi dan skala penggunaan lagu yang berlangsung hampir 16 tahun.
Komunikasi negosiasi dari pihak Vidi Aldiano dilaporkan terhenti setelah penawaran terakhir sebelum bulan Ramadan, yang kemudian memicu pihak pencipta untuk menempuh jalur hukum.
Akhirnya, pada 16 Mei 2025, Keenan Nasution dan Rudi Pekerti secara resmi mengajukan gugatan perdata terhadap Vidi Aldiano di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 51/Pdt. Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jakarta Pusat.
Sidang perdana kasus ini dijadwalkan pada 28 Mei 2025, namun ditunda karena Vidi Aldiano maupun kuasa hukumnya tidak hadir. Pada hari yang sama dengan penundaan sidang, versi “Nuansa Bening” yang dibawakan Vidi Aldiano tidak lagi tersedia di platform streaming musik Spotify. Langkah ini secara luas diinterpretasikan sebagai respons langsung dari pihak Vidi Aldiano atau platform itu sendiri untuk memitigasi klaim lebih lanjut atas penggunaan komersial tanpa izin. Sidang lanjutan kasus ini dijadwalkan pada 11 Juni 2025.
Tanggapan Pencipta: Bukan Hanya Royalti, tapi Izin dan Penghargaan
Minola Sebayang, kuasa hukum Keenan Nasution dan Rudi Pekerti, secara tegas menyatakan bahwa inti dari gugatan ini adalah tidak adanya izin awal untuk penggunaan lagu, bukan semata-mata masalah royalti. Ia berpendapat bahwa pembahasan royalti tidak dapat dilakukan jika dasar hukumnya, yaitu izin, tidak pernah ada.
Penawaran kompensasi yang diajukan oleh pihak Vidi Aldiano dianggap sebagai “alasan” untuk pelanggaran di masa lalu dan penggunaan di masa depan, bukan sebagai bentuk perizinan yang sah.
Keenan Nasution secara pribadi mengungkapkan kekecewaannya atas kurangnya komunikasi langsung dari Vidi Aldiano selama bertahun-tahun, bahkan sekadar ucapan “say hi”, seperti diungkap RRI.co.id dan VIVA.co.id.
Ia menganggap tawaran awal sebesar Rp 50 juta sebagai bentuk ketidakpenghargaan dan menekankan bahwa persoalan ini bukan semata-mata tentang nominal uang, melainkan tentang penghargaan dan etika terhadap pencipta lagu.
Pihak Keenan Nasution dan Rudi Pekerti menuntut ganti rugi sebesar “miliaran rupiah,” meskipun tidak sampai “puluhan miliar,” seperti disampaikan Minola Sebayang.
Minola merujuk pada Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 Pasal 9 ayat (2) yang menyebut pelanggaran seperti ini dapat dikenakan denda hingga Rp 500 juta per penampilan tanpa izin, mengindikasikan bahwa potensi denda secara keseluruhan bisa mencapai puluhan miliar rupiah jika dihitung per penampilan.
Langkah Vidi Aldiano: Keheningan dan Tindakan Mitigasi
Hingga berita ini ditulis, Vidi Aldiano maupun tim kuasa hukumnya belum memberikan pernyataan resmi atau tanggapan langsung terkait gugatan hak cipta yang dilayangkan. Sebelum gugatan resmi diajukan, Vidi Aldiano sempat mengunggah pernyataan umum di Instagram Story pada Februari 2025, yang menyinggung fokusnya pada pemulihan kesehatan dari kanker ginjal dan menyatakan bahwa “tidak semua hari cerah”, seperti dilaporkan Wartakota.
Ketidakhadiran Vidi Aldiano dan kuasa hukumnya dalam sidang perdana pada 28 Mei 2025 menyebabkan sidang ditunda. Minola Sebayang menyatakan bahwa ketidakhadiran ini menimbulkan pertanyaan mengenai keseriusan pihak tergugat dalam menghadapi proses hukum yang sedang berjalan.
Pengadilan umumnya memberikan hingga tiga kali kesempatan bagi tergugat untuk hadir, dan Minola berharap Vidi atau perwakilannya akan hadir pada sidang lanjutan pada 11 Juni 2025.
Penghapusan lagu “Nuansa Bening” versi Vidi Aldiano dari Spotify pada hari yang sama dengan penundaan sidang perdana (28 Mei 2025) secara luas diinterpretasikan sebagai respons langsung dari pihak Vidi Aldiano atau platform itu sendiri terhadap gugatan yang diajukan, dengan tujuan untuk memitigasi klaim lebih lanjut atas penggunaan komersial tanpa izin.
Reaksi Publik dan Industri: Sorotan pada Hak Cipta
Kasus Vidi Aldiano ini menambah daftar panjang sengketa hak cipta berprofil tinggi di industri musik Indonesia, mengingatkan pada kasus serupa antara Ari Bias dan Agnez Mo, seperti yang banyak disorot media.
Minola Sebayang, sebagai kuasa hukum penggugat, berperan sebagai suara ahli kunci dalam menjelaskan dasar hukum gugatan, secara konsisten menekankan pentingnya izin dan relevansi Undang-Undang Hak Cipta 2014. Ia menyebut kasus ini sebagai upaya untuk memberikan “kepastian hukum” dalam industri.
Meskipun tidak ada pernyataan langsung dari selebriti lain mengenai kasus Vidi Aldiano secara spesifik, komentar Armand Maulana yang pernah mengeluhkan hanya menerima Rp 160 ribu royalti dalam setahun dan kebingungannya terhadap transparansi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) mengindikasikan ketidakpuasan yang lebih luas di kalangan artis dan pencipta mengenai sistem pengumpulan dan distribusi royalti.
Di kalangan netizen, sentimen yang terekam di platform media sosial menunjukkan dukungan yang beragam namun cenderung mendukung hak-hak pencipta. Banyak netizen mengakui bahwa masalah hak cipta dalam industri musik adalah isu yang “tidak ada habisnya” atau “tidak kelar-kelar”, seperti terlihat dalam beberapa diskusi di TikTok.
Penghapusan lagu “Nuansa Bening” versi Vidi Aldiano dari Spotify menjadi poin diskusi penting, dengan beberapa netizen berharap langkah ini dapat mempercepat penyelesaian masalah.
Ada seruan umum dari netizen untuk adanya apresiasi yang lebih besar terhadap pencipta lagu dan praktik perizinan yang lebih baik. Beberapa komentar juga menunjukkan simpati terhadap kondisi kesehatan Vidi Aldiano, namun isu inti pelanggaran hak cipta tetap menjadi fokus utama perbincangan.
Kasus “Nuansa Bening” ini menjadi pengingat penting bagi seluruh pemangku kepentingan di industri musik Indonesia akan urgensi mekanisme perizinan yang lebih jelas dan transparan, serta pentingnya menghormati hak ekonomi dan hak moral para pencipta. Hasil dari kasus ini berpotensi membentuk preseden penting dan mendorong praktik yang lebih etis dan patuh hukum di masa depan.