BANDUNG, Cakrawala – Tri Yanto, mantan Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jawa Barat, kini berstatus tersangka setelah mengungkap dugaan penyimpangan dana zakat dan hibah senilai total sekitar Rp 13,3 miliar di lembaga tersebut. Kasus ini memicu perdebatan sengit mengenai perlindungan pelapor (whistleblower) di Indonesia, dengan organisasi masyarakat sipil mengecam penetapan tersangka Tri Yanto sebagai bentuk kriminalisasi dan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tri Yanto melaporkan dugaan penyimpangan dana operasional zakat sebesar Rp 9,8 miliar dan penyalahgunaan dana hibah COVID-19 senilai Rp 3,5 miliar. Menurut Tri Yanto, penggunaan dana operasional zakat mencapai 20% dari total, melebihi batas maksimum 12,5% yang ditetapkan Kementerian Agama. Ia juga menyoroti lonjakan pengeluaran sejak pergantian pimpinan Baznas Jabar pada tahun 2020, termasuk kenaikan gaji pimpinan hingga 121% (dari Rp 15 juta menjadi sekitar Rp 30 juta per orang pada 2023) dan pengadaan beberapa mobil dinas baru.
Bantahan Baznas dan Proses Hukum yang Berbeda Arah
Pihak Baznas Jabar, melalui Wakil Ketua IV Achmad Faisal, membantah tuduhan korupsi tersebut. Faisal menyatakan bahwa audit investigasi oleh Inspektorat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Baznas RI, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI pada 2023-2024 tidak menemukan bukti tindak pidana korupsi. Ia mengklaim audit Baznas RI tidak menemukan bukti terkait dana hibah Rp 3,5 miliar, dan audit syariah Kemenag RI juga tidak menemukan pelanggaran syariah untuk dana zakat Rp 9,8 miliar.
Di sisi lain, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar) mengonfirmasi telah menerima laporan dugaan korupsi di Baznas Jabar pada 31 Juli 2024. Hingga saat ini, laporan tersebut masih dalam proses pemeriksaan.
Namun, alih-alih fokus pada dugaan korupsi, Tri Yanto justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat. Ia dijerat Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas tuduhan akses ilegal dan penyebaran dokumen rahasia.
Kronologi dan Pembelaan Tri Yanto
Menurut Polda Jabar, Tri Yanto diduga memindahkan dan menyimpan dokumen kerja sama Baznas Jabar ke laptop pribadinya mulai Agustus 2023, dan mengirimkannya ke pihak luar sejak Februari 2024. Dokumen-dokumen ini, termasuk laporan pertanggungjawaban dana hibah Belanja Tidak Terduga (BTT) APBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2020, diklaim sebagai informasi rahasia berdasarkan Surat Keputusan Ketua Baznas Jawa Barat Nomor 93 Tahun 2022. Laporan polisi diajukan pada 7 Maret 2025.
Tri Yanto sendiri membantah tuduhan penyebaran dokumen secara luas atau dengan niat jahat. Ia menegaskan bahwa niatnya semata-mata untuk membantu pemerintah memberantas korupsi dan penyalahgunaan dana. Ia mengklaim hanya melaporkan dugaan pelanggaran tersebut kepada pihak berwenang, yaitu Inspektorat Jawa Barat, pengawas Baznas RI, dan aparat penegak hukum.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, kuasa hukum Tri Yanto, menyatakan bahwa dokumen-dokumen tersebut digunakan sebagai lampiran sah untuk pengaduan resminya kepada badan pengawas yang relevan. Bahkan, beberapa dokumen tersebut diminta oleh tim hukum Baznas RI sebagai bukti pendukung. LBH Bandung menduga identitas Tri Yanto sebagai pelapor, beserta dokumen terlampir, bocor dari saluran pelaporan internal, yang kemudian menyebabkan Baznas Jabar mengajukan laporan polisi terhadapnya.
Terdapat pula perbedaan kronologi mengenai pemecatan Tri Yanto. Baznas Jabar menyatakan pemecatannya terjadi pada 21 Januari 2023 karena “rasionalisasi lembaga” dan “tindakan indisipliner,” dan membantah ada hubungan dengan aktivitas pelaporannya. Namun, LBH Bandung membantah klaim indisipliner tersebut dan menyatakan bahwa Tri Yanto melaporkan dugaan korupsi sebelum ia dipecat.
Kecaman Masyarakat Sipil dan Seruan Perlindungan Whistleblower
Kriminalisasi Tri Yanto menuai kecaman keras dari berbagai organisasi masyarakat sipil. LBH Bandung mengutuk penetapan tersangka ini sebagai bentuk “pembalasan” yang jelas dan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban serta prinsip proses hukum yang adil. Mereka berpendapat bahwa negara wajib melindungi pelapor, bukan mengkriminalisasi mereka.
IM57+ Institute, melalui ketuanya Lakso Anindito, menilai penggunaan UU ITE dalam kasus ini “irasional” dan akan menjadikan semua whistleblower sebagai tersangka. Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang tindakan Tri Yanto sebagai “upaya itikad baik” untuk memperbaiki tata kelola dana zakat di Baznas dan melihat kriminalisasinya sebagai “kemunduran” dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. ICW juga mencatat adanya enam kasus korupsi dana zakat dengan 13 pelaku sepanjang 2011-2024, dengan total kerugian negara mencapai Rp 12 miliar, menunjukkan masalah yang terus-menerus dalam pengelolaan dana zakat Baznas.
LBH Bandung telah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan mencari perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mereka mendesak Polda Jabar untuk segera menghentikan kasus dan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk Tri Yanto, serta meminta Baznas Jabar menarik laporan polisinya. Organisasi masyarakat sipil juga menyerukan Komnas HAM, LPSK, Kompolnas, dan Ombudsman untuk aktif mengawal proses hukum yang sedang berjalan.
Kasus Tri Yanto menjadi sorotan publik yang signifikan, menyoroti kerapuhan perlindungan whistleblower di Indonesia dan pentingnya menyeimbangkan kerahasiaan institusi dengan kepentingan publik dalam mengungkap korupsi.
Dengarkan audio podcast mengenai pembahasan ini