Artikel Opini
Home » Vaksin, Filantropi, dan Bahaya Diam-Diam: Saat Indonesia Jadi Medan Uji Global

Vaksin, Filantropi, dan Bahaya Diam-Diam: Saat Indonesia Jadi Medan Uji Global

Kunjungan Bill Gates ke Indonesia pada awal Mei 2025 tampak hangat dan ramah. Bersama Presiden Prabowo Subianto, ia meninjau fasilitas kesehatan dan berdiskusi tentang penanganan tuberkulosis (TBC). Di balik gesture diplomatik itu, ada satu poin penting yang mengundang perenungan serius: Indonesia akan menjadi lokasi uji klinis vaksin TBC eksperimental yang didukung oleh Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF).

Apakah ini tanda kemajuan dalam upaya memerangi penyakit mematikan, atau sebuah bentuk “filantrokapitalisme terselubung” yang menjadikan Indonesia sebagai ruang eksperimen bagi kekuatan global?

Negara Berkebutuhan Tinggi, Tapi Rentan Dimanfaatkan

Dengan hampir satu juta kasus TBC per tahun, Indonesia memang sangat membutuhkan solusi baru. Vaksin BCG yang digunakan saat ini sudah berusia lebih dari seabad dan tak mampu mencegah infeksi paru dewasa yang dominan. Vaksin baru jelas sebuah harapan. Namun, apakah harapan itu datang dengan harga yang tak kita sadari?

Uji klinis vaksin yang disebut-sebut sebagai “potensial terobosan” ini akan melibatkan relawan di beberapa negara berkembang. Gates Foundation bekerja sama dengan Wellcome Trust, lembaga riset global, serta industri farmasi besar. Indonesia termasuk salah satu lokasi uji lapangan karena dianggap representatif: angka kasus tinggi, sistem kesehatan yang cukup memadai untuk riset, dan—ini yang krusial—regulasi yang lebih “fleksibel” dibanding negara maju.

Kematian dr. Marwan al-Sultan: Tragedi di Tengah Deru Bom dan Derita Gaza

Jejak Filantropi yang Tak Selalu Putih

Ini bukan kali pertama Gates Foundation masuk ke Indonesia atau negara Selatan Global. Tapi pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa filantropi tidak selalu steril dari motif kepentingan.

Gates Foundation adalah investor besar di perusahaan farmasi dan bioteknologi. Mereka menyuntikkan dana ke Pfizer, Moderna, GSK, dan perusahaan vaksin lainnya. Dalam kasus vaksin COVID-19, kritik muncul karena perusahaan yang menerima dukungan dana publik dan filantropi justru menjual vaksin dengan harga tinggi, dan menolak berbagi lisensi ke negara berkembang.

Tak hanya itu. Di Kenya, proyek vaksin HPV yang juga didukung oleh Gates Foundation memicu kontroversi karena dianggap kurang transparan. Di India, vaksinasi massal HPV kepada anak perempuan dari komunitas miskin dikritik karena uji klinis dilakukan tanpa konsen yang sah dan minim pengawasan.

Apakah Indonesia Siap?

Fadil Imran di Pusaran Kritik: Jabatan Ganda dan Tata Kelola

Hal yang belum dijawab oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini adalah: di mana posisi kita dalam proyek vaksin TBC ini? Apakah kita hanya pelaksana uji coba? Apakah kita memiliki hak atas data, paten, atau akses hasil risetnya? Apakah Indonesia dilibatkan sejak tahap desain riset, atau hanya menjadi “tempat” yang disediakan?

Yang lebih mengkhawatirkan: belum ada keterangan rinci dari Kementerian Kesehatan, BPOM, atau institusi riset nasional mengenai mekanisme etik, pengawasan independen, dan perlindungan data peserta. Apakah seluruh prosedur informed consent benar-benar ditegakkan? Siapa yang akan mengaudit proses ini?

Tanpa kejelasan itu, kekhawatiran akan eksploitasi ilmiah menjadi sangat masuk akal.

Ilmu Pengetahuan Tak Boleh Membungkam Kedaulatan

Tentu saja, sains memerlukan kolaborasi global. Tapi kolaborasi tidak boleh menjadikan negara berkembang sebagai “bahan bakar” kemajuan ilmu dari utara global. Ilmu pengetahuan harus tunduk pada keadilan, bukan sebaliknya.

KMP Tunu Pratama Jaya Tenggelam di Selat Bali, 4 Tewas dan Puluhan Masih Hilang

Indonesia memiliki hak untuk:

  • Menentukan batas keterlibatan dalam riset asing.
  • Menuntut transparansi atas semua uji coba yang dilakukan di wilayahnya.
  • Mendapat bagian adil dari hasil riset yang menggunakan data dan warga negaranya.
  • Menolak jika proses riset hanya akan memperkuat dominasi farmasi global, sementara masyarakat Indonesia tetap menjadi konsumen yang tak berdaya.

Siapa yang Menentukan Masa Depan Kesehatan Kita?

Uji coba vaksin TBC bisa menjadi titik balik besar dalam sejarah kesehatan masyarakat Indonesia. Namun, jika negara tidak bersikap tegas dan cerdas, maka proyek ini justru bisa menjadi pengingat kelam tentang bagaimana kekuatan global menggunakan kedok bantuan untuk mengamankan kepentingannya sendiri.

Bukan berarti kita menolak vaksin, riset, atau kerja sama global. Tapi semua itu harus berlangsung dalam kerangka pengawasan publik, keterlibatan akademisi lokal, dan komitmen pada kedaulatan ilmiah nasional.

Dalam dunia di mana filantropi bisa sekuat korporasi dan lembaga donor bisa melebihi kekuasaan negara, hanya sikap kritis dan independen yang bisa menjadi benteng terakhir. Indonesia tak boleh lagi hanya menjadi medan eksperimen. Kita harus jadi penentu, bukan objek.