CIBINONG (Cakrawala) – Indonesia dinilai perlu mengembangkan ulat sutra non murbei atau Samia Cynthia Ricinii, yang adaptif terhadap berbagai kondisi iklim dan pakan. Hal itu sebagai upaya dalam mengatasi kebutuhan benang sutra dalam negeri yang saat ini baru bisa dipenuhi 500 ton dari kebutuhan 2.000 – 2.500 ton pertahun.
“Kemandirian bibit ini dapat dilakukan dengan menghasilkan galur sintetik unggul ulat sutera non murbei yang dipelihara dengan pakan 100 persen daun singkong. Selain, pengembangan teknologi pengolahan produknya menghasilkan serat sutra, setara dengan serat sutra yang dihasilkan oleh ulat sutra murbei Bombyx mori L,” kata Ronny Rachman Noor dari Fakultas Peternakan IPB University.
Hal tersebut disampaikan dalam Sharing Session Summer School Series #1 secara hybrid, yang diselenggarakan Pusat Riset Zoologi Terapan (PRZT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Innovation Convention Center (ICC) KST Soekarno Cibinong, Jawa Barat, Senin (21/4/2025).
Menurutnya, galur sintetik Samia Cynthia Ricini yang telah dihasilkan memiliki keunggulan, antara lain dapat dipelihara pada lingkungan marjinal. Yaitu, suhu panas dan kelembaban rendah, dengan pakan 100 persen daun singkong,
“Siklus hidup lebih pendek yakni 39 – 45 hari VS 50 hari, kokon lebih berat (>200%; 1.67 – 2.10 g/kokon), mortalitas lebih rendah. Tahan terhadap stres panas dan kelembaban yang rendah, serta kualitas serat yang dihasilkan lebih panjang dan berkilau,” ujarnya memaparkan.
Ronny menjelaskan teknologi yang dikembangkan untuk mendukung Zero Waste Production, seperti pembuatan pupuk cair dan padat dari urin serta feces ulat sutera.
Pemanfaatan pupa untuk pakan ternak, dan biskuit pupa untuk bayi, yang kualitas dan keamanan produknya sudah memenuhi SNI.
Di samping itu, lanjut Ronny, serisin yang dihasilkan dari pengolahan benang sutera Samia ini memiliki potensi yang sangat besar.
Contohnya, sebagai obat obatan dan bahan kosmetik untuk penyembuhan luka, serta pencerah kulit alami.
“Pengembangan bibit unggul Samia yang telah dihasilkan telah disebarkan dan dimanfaatkan oleh kelompok peternak ulat sutera di Kulon Progo. Kemudian, Kabupaten Pasuruan yang berhasil meningkatkan pendapatkan peternak,” katanya.
Selanjutnya Ronny menerangkan, berbagai inovasi yang telah dihasilkan oleh tim Ulat Sutera Alam ini seperti, bibit unggul yang telah dipatenkan dengan nomor pendaftaran paten S00202300801 & S00202306277.
Teknologi pengolahan produk ulat sutra dan turunannya dengan paten granted S00202209418, serta pendaftaran paten P00202308166. (Redaksi)