Jakarta, (Cakrawala) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menolak pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 20 Maret 2025. AJI menilai revisi ini sebagai kemunduran demokrasi yang berpotensi mengancam supremasi sipil dan kebebasan pers.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida di Jakarta (26/3), menyatakan bahwa UU TNI yang baru memperluas kewenangan militer dalam jabatan sipil. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menempatkan warga sipil sebagai pemegang kendali utama dalam pemerintahan.
“Disahkannya RUU TNI ini merupakan tanda kemunduran demokrasi,” ujar Nany dalam pernyataannya.
Tuntutan AJI: Reformasi Peradilan Militer
AJI menyoroti aspek lain yang seharusnya menjadi fokus revisi, yaitu mekanisme peradilan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil, termasuk jurnalis, hanya diadili di peradilan militer dengan hukuman yang relatif ringan.
Data AJI mencatat bahwa pada tahun 2024, TNI menduduki posisi kedua sebagai institusi dengan kasus kekerasan terhadap jurnalis terbanyak. Hingga Maret 2025, sudah terjadi satu kasus kekerasan oleh TNI terhadap jurnalis.
“Jika mereka melakukan tindak pidana umum, seperti kekerasan terhadap jurnalis, maka (seharusnya) pengadilan yang berwenang adalah pengadilan sipil,” tegas Nany.
Menurut AJI, pengadilan sipil dapat memberikan hukuman yang lebih berat, menciptakan efek jera, serta memastikan keadilan bagi korban. Oleh karena itu, AJI mendesak agar revisi UU TNI lebih difokuskan pada reformasi peradilan militer, transparansi, dan akuntabilitas hukum bagi prajurit yang melanggar hukum.
Kekhawatiran terhadap Militerisasi Pemerintahan
AJI juga menyoroti bahwa pengesahan UU TNI ini menunjukkan watak pemerintahan Presiden Prabowo yang cenderung militeristik. Dengan latar belakang yang kontroversial terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Prabowo dinilai tengah berupaya memperkuat kekuasaannya dengan melibatkan militer dalam ranah sipil.
Proses pengesahan UU TNI juga dinilai tidak transparan dan mengabaikan aspirasi publik. Gelombang aksi protes di berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Manado, Purwokerto, dan Bandung mencerminkan penolakan masyarakat terhadap aturan ini. Tagar #TolakRUUTNI pun ramai digaungkan di media sosial.
Kilas Balik Ancaman terhadap Kebebasan Pers
AJI mengingatkan bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil dapat berdampak buruk bagi kebebasan pers. Pengalaman masa Orde Baru menjadi contoh nyata ketika kebebasan berekspresi dikekang dan media massa mengalami pembredelan. Pada 1994, Majalah Tempo, Editor, dan Detik dibredel setelah memberitakan korupsi dalam pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur.
Selain itu, AJI juga menyoroti kasus pembunuhan wartawan Bernas, Udin, yang mengkritik seorang pejabat militer aktif, serta kasus aktivis buruh Marsinah yang tewas di tangan aparat.
Tiga Alasan AJI Menolak UU TNI
Berdasarkan pertimbangan tersebut, AJI menyatakan sikap tegas menolak pengesahan UU TNI dengan tiga alasan utama:
- UU TNI mengancam demokrasi dengan melemahkan supremasi sipil dan kebebasan pers.
- UU TNI berpotensi menghambat profesionalisme TNI karena tugas pertahanan negara terganggu oleh urusan sipil.
- UU TNI memperlambat reformasi militer yang selama ini diperjuangkan sejak era Reformasi.
AJI menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk bersatu menolak UU TNI guna mencegah Indonesia kembali ke era militerisme seperti pada masa Orde Baru. Mereka juga memperingatkan bahwa Indonesia bisa mengarah pada model pemerintahan junta militer seperti yang terjadi di Thailand atau Myanmar jika tidak ada perlawanan terhadap kebijakan ini.
Untuk informasi lebih lanjut, AJI menyediakan kontak berikut:
- Nany Afrida (Ketua Umum): nany@ajiindonesia.or.id
- Bayu Wardhana (Sekretaris Jenderal): bayu@ajiindonesia.or.id
- Hotline: 0811 1137 820
- Website: www.aji.or.id