Pilihan redaksi Politik
Home » Revisi UU Pers Berisiko Kebiri Kebebasan Berpendapat

Revisi UU Pers Berisiko Kebiri Kebebasan Berpendapat

Diskusi live Instagram Koreksi.org (Foto: tangkapan layar)

JAKARTA (Cakrawala) – Kalangan pegiat pers menilai wacana merevisi UU 40/1999 tentang Pers berisiko mengebiri kebebasan berpendapat.

Hal itu mengemuka dalam diskusi live Instagram yang bertajuk “RUU TNI Sah: Apakah Pers Akan Kembali Seperti Orde Baru?” yang diprakarsai Koreksi.org, Minggu 23 Maret 2025 malam

Moderator Sari Wijaya (Koreksi) memandu tiga pembicara dan mengakomodasi para peserta online dalam diakusi.

Satu narasumber, Tosca Santoso (Sekjen Aliansi Jurnalis Independen Periode 1994-1995) mengatakan akan sangat berisiko jika dilakukan revisi terhadap UU Pers saat ini.

‘UU Pers jangan dinegosiasikan untuk revisi, karena elite sekarang tidak pro terhadap kebebasan berpendapat,’ ujarnya.

Kematian dr. Marwan al-Sultan: Tragedi di Tengah Deru Bom dan Derita Gaza

Menurut dia, dalam beberapa kasus pembentukan kebijakan, belakangan RUU TNI, nampak jelas perilaku elite yang cenderung mengontrol segala hal, termasuk kebebasan berpendapat yang diwujudkan melalui pers

Padahal melalui mekanisme kontrol tersebut, paparnya, yang akan terjadi adalah stabilitas yang semu.

“Sudah banyak contoh sejarah, seperti ambruknya komunisme di Eropa Timur, kasus runtuhnya orde baru, juga akibat stabilitas semu yang terjadi dari penguasa yang menerapkan mekanisme kontrol,’ tuturnya.

Tosca menegaskan, UU Pers yang ada sekarang sudah cukup baik, terutama sifatnya yang lex specialis. Keberatan terhadap kerja pers ditangani oleh dewan pers.

“Kalau di revisi oleh elite yang sekarang ini  saya khawatir lex specialis itu akan hilang,” katanya.

Fadil Imran di Pusaran Kritik: Jabatan Ganda dan Tata Kelola

Direktur LBH Lentera Salawati Taher mengemukakan tekanan kekerasan kepada pers di Indonesia masih tinggi.

Terakhir kasus paket kepala babi dan tikus ke Tempo menunjukkan adanya upaya pembungkaman pers yang semakin brutal.

“Pers tidak boleh diintervensi karena tanpa kebebasan pers demokrasi tidak akan jalan sebagaimana mestinya,” tuturnya.

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Erick Tanjung menambahkan, kecenderungan kontrol terhadap pers belakangan menguat.

“Sudah banyak kasus ketidakpuasan terhadap berita langsung ditangani polisi, padahal seharusnya lewat Dewan Pers,” katanya.

KMP Tunu Pratama Jaya Tenggelam di Selat Bali, 4 Tewas dan Puluhan Masih Hilang

Ia menyebutkan, dalam 3 bulan di awal 2025, dari Januari-Maret tercatat ada 24 kasus kekerasan terhadap wartawan, baik berupa larangan peliputan, Intimidasi, teror, hingga kekerasan fisik.

‘Kasus Kantor  Redaksi Jubi di Papua yang dilempar bom molotov, wartawan yang terbunuh, dan terakhir teror di Tempo, menunjukkan betapa besar risiko pers dalam menjaga demokrasi,” katanya.

Terpisah, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Suparyati menekankan teror terhadap jurnalis yang bersangkutan, tetapi juga ancaman bagi kelompok pembela HAM secara umum.

Ia menyebutkan, berdasarkan sejumlah permohonan perlindungan dari jurnalis ke LPSK, terdapat beberapa bentuk seperti kekerasan pada jurnalis Tempo NH di Surabaya, pembunuhan wartawan di Karo Sumatera Utara, pelemparan bom molotov di kantor redaksi Jubi Papua, hingga terbaru pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke jurnalis Tempo.

“Jurnalis sebagai salah satu garda terdepan dalam mengungkap kebenaran dan menyuarakan aspirasi publik, rentan terhadap kekerasan yang mengancam keselamatan. Teror terhadap jurnalis juga ancaman terhadap kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia,” ujar Sri Suparyati, Minggu 23 Maret 2025.

Sri Suparyati menegaskan bahwa teror ini merupakan gambaran betapa rentannya posisi para pembela HAM dalam menghadapi berbagai bentuk intimidasi. Untuk itu, dalam keadaan tertentu, Perlindungan dapat diberikan sesaat setelah permohonan diajukan kepada LPSK.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya sinergi antara LPSK dengan Dewan Pers dalam memetakan dan mengidentifikasi potensi ancaman.

‘Ini penting untuk merancang strategi perlindungan yang komprehensif, sehingga setiap tindakan intimidasi atau serangan dapat segera direspons dengan langkah tepat dan terukur,” tukasnya. (Redaksi)