Artikel Opini Opini Pilihan redaksi
Home » Koalisi Akademisi Juga Tolak Revisi UU TNI

Koalisi Akademisi Juga Tolak Revisi UU TNI

Satria Unggul, dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya/KIKA. (Foto: tangkapan layar youtube)

JAKARTA (Cakrawala) – Koalisi akademisi dan pegiat hukum juga menolak revisi UU TNI.

Akademisi tersebut tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, serta Serikat Pekerja Kampus (SPK) secara tegas menolak Revisi Undang-Undang (RUU) TNI.

Penolakan terhadap RUU TNI tercermin dalam diskusi yang diunggah Youtube, Minggu 16 Maret 2025. Berikut poin-poin yang menjadi pertimbangannya:

Dalam pernyataan resminya, koalisi akademisi menyampaikan tiga poin utama yang menjadi dasar penolakan terhadap revisi ini:

Pertama, Pembahasan yang Tidak Transparan. Revisi UU TNI dilakukan secara diam-diam oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR-RI bersama Pemerintah. Proses ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

KMP Tunu Pratama Jaya Tenggelam di Selat Bali, 4 Tewas dan Puluhan Masih Hilang

Kedua, Ancaman Kembalinya Dwifungsi ABRI. Revisi ini membuka peluang bagi TNI aktif untuk mengisi jabatan sipil, melanggengkan impunitas, serta mengancam supremasi sipil.

Hal ini bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang seharusnya mengarah pada profesionalisme militer sebagai alat pertahanan negara.

Ketiga, Desakan kepada DPR dan Pemerintah. Masyarakat sipil diminta bersatu untuk menolak revisi UU TNI.

DPR dan Pemerintah harus menjalankan konstitusi serta menegakkan prinsip HAM sesuai standar hukum nasional dan internasional.

Koalisi akademisi juga menilai bahwa revisi ini dapat menimbulkan dampak buruk dan membawa konsekuensi serius bagi demokrasi, HAM, dan supremasi hukum di Indonesia.

7 Tersangka Pembubaran Retret Pelajar Kristen, Polisi Akan Dirikan 200 Dapur MBG, dan Harga BBM Naik

Sebab, TNI akan kembali ke ranah sosial-politik. Revisi ini membuka celah bagi militer untuk kembali terlibat dalam politik dan ekonomi. Padahal, sejarah membuktikan bahwa dwifungsi TNI di era Orde Baru merusak tatanan demokrasi dan melemahkan supremasi sipil.

Selain itu, impunitas Meningkat, Hukum Melemah. RUU ini berpotensi memperkuat kekebalan hukum anggota TNI, yang dapat menghambat independensi peradilan serta meningkatkan pelanggaran HAM di masa depan.

Revisi juga bertentangan dengan Standar HAM Internasional, yaitu tidak sejalan dengan, rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR) dan Universal Periodic Review (UPR). Instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Kewajiban hukum HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

Disamping itu, revisi menimbulkan ancaman terhadap Kebebasan Sipil dan Akademik.

Sebab, jika impunitas dibiarkan, kebebasan berpendapat dan akademik akan semakin terancam. Beberapa dampak nyata dari kondisi ini adalah:

Dua Abad Wonosobo: Gelar Java Balloon Attraction 2025 

Sweeping buku-buku kiri dan pembatasan literasi kritis. Pembubaran diskusi akademik tentang isu-isu sensitif seperti Papua dan keamanan nasional. Peningkatan represi terhadap masyarakat sipil yang bersuara kritis.

Revisi UU TNI juga berpotensi melemahkan profesionalisme TNI dengan beberapa kebijakan bermasalah, seperti:

Perpanjangan masa pensiun, yang menyebabkan penumpukan perwira non-job. Perluasan jabatan sipil untuk TNI aktif, yang menggerus supremasi sipil.

Peningkatan keterlibatan TNI dalam politik keamanan, yang berisiko mengancam demokrasi. Pelemahan kontrol rakyat melalui DPR terhadap operasi militer di luar perang.

Mengenai rapat tertutup, menjadi salah satu sorotan utama adalah keputusan DPR dan pemerintah menggelar pembahasan revisi UU TNI secara tertutup di hotel.

Hal ini dinilai bermasalah karena, bertentangan dengan prinsip efisiensi anggaran negara. Memicu kecurigaan publik terhadap substansi revisi yang cenderung melanggengkan dwifungsi militer.

Revisi UU TNI dinilai sebagai langkah mundur bagi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Koalisi akademisi menegaskan bahwa reformasi TNI harus tetap mengarah pada profesionalisme, bukan kembalinya militer ke ranah sipil dan politik.

Masyarakat sipil didorong untuk terus bersuara dan mendesak DPR serta Pemerintah untuk menghentikan revisi ini demi tegaknya nilai-nilai konstitusional, HAM, dan demokrasi di Indonesia. (Redaksi)