Gaya Hidup Serba Serbi
Home » Puncak Botorono: Drama Alam di Akhir Tahun

Puncak Botorono: Drama Alam di Akhir Tahun

Oleh: Edy Barlianto

SETIAP libur Natal dan Tahun Baru, kami sekeluarga biasa melancong keluar kota. Setelah penat dengan acara natalan, kali ini kami putuskan tetap jalan-jalan, tetapi dekat saja ke tempat terbuka yang tak banyak orang.

Kami pilih berziarah ke makam keluarga di Wonosobo. Namun, iseng-iseng kami sempatkan mampir ke Puncak Botorono karena kebetulan terlewati. Yang kami dengar, Botorono merupakan satu tempat wisata baru di kawasan punggung Gunung Sumbing yang lagi naik daun.

Berkendara mobil dari Semarang pukul 08.30. Berhenti di rest area tol Ungaran untuk menikmati kopi dan ke toilet. Keluar pintu tol Bawen dan ambil jalan lingkar Ambarawa.

Setibanya di pertigaan Kaliampo Pringsurat, kami belok ke kanan mengambil jalan tembus arah Temanggung, lalu Parakan dan belok kiri menanjak ke jurusan Wonosobo.

Dua Abad Wonosobo: Gelar Java Balloon Attraction 2025 

Setelah melewati Pasar Legi Parakan, tak lebih dari 10 menit menempuh jalur berkelok, sebuah gang di sisi kiri jalan menampilkan petunjuk arah cukup mencolok yang memberi kami informasi jalur menuju Puncak Botorono.

Ya, di jalan berkelak-kelok itu, bila kita memandang sisi kiri nampak Gunung Sumbing yang gagah bersabuk kabut indah. Dan, ada salah satu anak gunung yang menyolok. Di sana ada tulisan dengan grand letter BOTORONO. Ini mengundang penasaran kami, untuk naik ke sana.

Kami telusuri gang beraspal sepanjang  sekitar 1 km melewati Balai Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung. Jalan kecil menembus perkampungan berujung pada lahan parkir. Waktu menunjukkan pukul 11.05.

Pemuda yang Ramah

Beberapa pemuda dengan ramah memandu mobil untuk diparkir sembari menjelaskan tarif parkir Rp 5.000 yang ditarik ketika kami hendak pulang. Ia sekaligus memberi saran bagaimana mencapai Puncak Botorono yang berjarak sekitar 1.500 meter dari area parkir. Jalannya yang sempit tak cukup dilalui mobil.

K Fitness Perkuat Eksistensi di Semarang: Cabang Hasanudin Resmi Dibuka dengan Inovasi dan Layanan Kelas Dunia

Kami memilih menyewa ojek ketimbang jalan kaki. Tarif ojek di sini diatur standar, yaitu per orang Rp 10.000 untuk naik ke puncak dan Rp 5.000 untuk turun dari puncak ke tempat parkir.

Knalpot ojek menderu menyusur jalan menanjak ke Puncak Botorono. Pengemudinya cekatan, setara dengan kondisi motor yang cukup prima.

Ia bercerita, ojek Botorono semua adalah warga sekitar dengan jumlah motor aktif sekitar 30 unit. Pada peak season ia bisa 10 kali pulang balik mengangkut penumpang. Berhenti sebentar di sebuah pos, kami ditarik tiket masuk area wisata Rp 5.000 per orang.

Ojek Kembali menderu di jalan yang makin naik. Saya perlu mengganjal pantat dengan sebelah tangan karena dari tadi rasanya mau melorot.

Tak sampai 10 menit kami sudah tiba di gerbang Area Wisata Puncak Botorono. Di ketinggian 1.300 meter diatas permukaan laut (mdpl), angin dari lembah yang masih bau sisa gerimis, terasa sejuk mengelus pipi.

Anna Wintour: Pergeseran Kekuatan di Takhta Vogue, Dari Editor Ikonik Menuju Arsitek Global

Ada sebuah warung sederhana, tapi cukup lengkap menyediakan kebutuhan darurat, seperti kopi, nasi dengan lauk, mie instan dan lainnya. Sepuluh meter di sampingya, terdapat lahan parkir motor, toilet dan mushola. Semuanya nampak rapi dan bersih.

Tepat di seberang warung, beberapa pemuda dan pemudi berpakaian adat Jawa menyambut kami dan siap menjawab semua pertanyaan seputar Puncak Botorono. Tempat wisata ini dibuka 24 jam sehari. Pada hari libur jumlah pengunjung mencapai 500-600 orang.

Dari pemberhentian ojek, untuk mencapai Puncak Botorono kami harus berjalan sekitar 200 meter menapaki tangga terjal bercat biru. Di ujung tangga terbawah ada sebuah aquarium berukuran besar dengan ikan-ikan lokal.

Di sisi kanan-kiri tangga ada beberapa gazebo yang sengaja disiapkan untuk wisatawan beristirahat sejenak menghela napas.

Bagi saya yang sudah tergolong manula, pengaturan trek Puncak Botorono ini cukup ramah karena rasanya tidak sangat berat memacu jantung dan paru-paru. Hanya butuh 10 menit berjalan mendaki tangga untuk sampai ke puncak.

Setiba di puncak, jam menunjuk angka 11.40. Segala upaya lunas terbayar. Cuaca cerah sehabis hujan menyuguhkan panorama alam yang dramatis.

Hijau tetumbuhan di kaki Gunung Sumbing nampak serasi dengan warna biru langit cerah, di atasnya sisa mendung kelabu masih nampak tipis-tipis berpadu gumpalan awan putih bersih berpendar sinar matahari siang. Sungguh melampaui sapuan kuas seorang maestro.

Di sore hari menjelang senja, cakrawala di Puncak Botorono juga menggelar drama alam lain berupa sunset yang sangat indah. Ini menjadi alternatif lain, di tengah tempat serupa yang lebih banyak menawarkan pemandangan matahari terbit.

Memandang matahari tenggelam di akhir tahun, sebuah kenangan tak terlupakan. Sebuah drama indah di Puncak Botorono.*Gardu Pandang*Untuk semua atraksi alam itu, di Puncak Botorono sudah dibangun gardu pandang. Deretan rumah petani tembakau dan kota Temanggung terlihat jelas dari situ. Gardu Pandang itu menjadi favorit pengunjung.

Di situ juga selalu ada petugas berpakaian adat Jawa yang siap menjawab segala pertanyaan seputar Puncak Botorono. Nampak seorang dengan rompi dan kamera SLR mengobrol serius dengannya. Mungkin dia reporter wisata dari sebuah media besar.Dua remaja putri berjilbab nampak asyik mengulik smartphone-nya, mereka berulang-ulang saling berfoto untuk mendapatkan posisi terbaik di depan miniatur kincir angin yang dibuat menyerupai Zaanse Schans di Belanda.

Tak jauh dari situ, tiga orang anak sedang memberi aba-aba sepasang kakek-nenek berpose untuk dipotret. Berlatar punggung Gunung Sumbing yang gagah, keduanya berdiri bergandengan dengan wajah kaku sambil menahan senyum.

Sedangkan di samping tulisan Botorono yang besar, ada kursi-kursi besi dengan sandaran landai. Sengaja dibuat untuk bersantai. Sepasang muda-mudi duduk berangkulan, mereka asyik berswafoto dengan background cakrawala berwarna cerah.

Serombongan remaja terengah-engah mencapai puncak sambil tertawa gembira. Nampaknya mereka tengah meledek temannya yang tertinggal di belakang dalam berlomba mendaki tangga.

Teh Wangi Tanpa Gula

Dua jam menikmati Puncak Botorono, banyak spot foto yang instagramable. Juga tersedia area camping untuk mendirikan tenda bagi mereka yang ingin mendapatkan momen terbaik menikmati matahari terbit nan indah.

Menjelang pukul 13.00 kami pun turun untuk makan siang dan melanjutkan perjalanan ke Wonosobo.

Di sepanjang jalan sekitar Kledung Pas, banyak kafe dan eatenary yang menyajikan kopi khas Temanggung dan berbagai makanan.

Tetapi kami memutuskan untuk mencobanya di lain waktu. Hari itu kami mampir di warung Jawa langganan kami yang terletak di jalan utama Kertek.

Menu rawon koyor dengan daun pepaya plus sambal lombok ijo terasa nikmat. Di situ seduhan teh hangatnya juga istimewa. Tetap wangi dan sedap, meski diminum tanpa gula